RedakasiManado.com - Konsumen akan menanggung biaya lebih besar menyusul keputusan pemerintah untuk memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada 1 April mendatang,
Kenaikan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang diundangkan pada 7 Oktober 2021. Kemudian, PPN naik menjadi 12% paling lambat pada 1 januari 2025 mendatang.
Beban biaya yang meningkat di level produsen akibat tambahan pajak tersebut akan mendorong pelaku usaha menaikkan harga produknya ke konsumen.
Ahmad Tauhid, Direktur Eksekutif Indef mengatakan, kenaikan tarif PPN akan memicu kenaikan harga barang yang artinya inflasi semakin tinggi. Ia lalu menunjuk sejumlah harga pangan yang terus merangkak naik saat ini.
Harga minyak goreng, kedelai yang tinggi naik dan beras yang sudah mulai naik harga akan menjadi pendorong inflasi. Menurutnya kenaikan harga jual produk dan inflasi akan menjadi salah satu tantangan dalam proses pemulihan ekonomi di saat pandemi yang belum selesai saat ini.
“Kenaikan inflasi pangan ini akan menurunkan daya beli masyarakat. Sektor makanan dan minuman (mamin) yang terdampak kenaikan tarif PPN akan sangat dirasakan konsumen. Menurut saya menaikkan tarif PPN di tengah kondisi seperti saat ini kurang pas,” kata Ahmad Tauhid dalam keterangannya Senin (21/2).seperti dilansir dari kontan,co
Lebih jauh Ahmad menjelaskan, bagi sektor usaha, kenaikan tarif PPN ini akan menambah beban perusahaan. Angka pertambahan tarif PPN memang terkesan kecil, hanya 1%.
Namun jika diakumulasikan, nominalnya akan sangat besar, tergantung transaksi perusahaan. Ia menunjuk sejumlah sektor seperti besi dan baja yang akan terkena dampak karena tarif PPN.
“Kenaikan tarif PPN akan berakibat pada harga jual produk. Implikasinya peningkatan penjualan perusahaan juga tidak akan terjadi dengan cepat. Beban tarif PPN ini pada akhirnya konsumen yang harus membayarnya,” jelasnya.
Menurut Ahmad, sektor usaha properti dan otomotif masih akan menikmati insentif PPN hingga akhir tahun ini. Adanya insentif tersebut membuat kenaikan tarif PPN tidak serta merta menaikkan harga jual produknya.
Hanya saja, jika insentif berakhir, pelaku usaha otomotif dan properti pasti akan melakukan penyesuaian harga akibat perubahan tarif PPN tersebut.
Selain itu sesuai UU HPP terdapat beberapa objek pajak baru yang akan terkena kebijakan kenaikan PPN. Di antaranya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan orang banyak dan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
Sementara itu Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu optimistis kenaikan tarif PPN 1 April nanti akan berdampak terbatas terhadap inflasi.
"Dampak kenaikan tarif PPN akan cukup terbatas karena kenaikannya juga terbatas dari 10% menjadi 11% [%]. Itu pun mulai 1 April. Jadi dalam konteks setahun dampaknya hanya berlaku selama tiga kuartal," tutur Febrio
Kebijakan kenaikan tarif PPN ini merupakan upaya pemerintah untuk menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio di tahun 2022. Febrio memperkirakan rasio pajak pada tahun ini bisa mencapai hingga 9,5% terhadap PDB.
Melalui ekstensifikasi pajak ini, Pemerintah menargetkan tax ratio di akhir tahun 2024 mencapai 10% terhadap PDB.
Selain kenaikan tarif PPN menjadi 11 % mulai April 2022; UU HPP juga mengatur penambahan tax bracket PPh 35 % bagi wajib pajak berpendapatan di atas Rp5 miliar setiap tahun.
Selain itu juga terdapat program pengungkapan sukarela (PPS) hingga Juni 2022 (tax amnesty) dan penerapan pajak karbon. ***(14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar