JAKARTA, RMC - Hujan kritik menerpa program Kartu Prakerja sejak diluncurkan 11 April 2020. Salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo saat pilpres lalu ini dinilai terlalu dipaksakan untuk bisa terlaksana saat bangsa ini berjibaku menghadapi pandemi Corona.
Kritik bahkan datang dari partai-partai koalisi pemeritah yang dulu mendukung program ini sebagai salah satu janji kampanye Presiden Jokowi. Semula, atau saat dijanjikan pada masa kampanye pilpres lalu,
Kartu Prakerja didesain sebagai program yang dijalankan saat situasi normal. Melalui program ini, pemerintah memberikan pelatihan kepada angkatan kerja untuk meningkatkan kompetensi, sekaligus memberikan insentif bagi mereka untuk memulai ikhtiarnya.
Pelatihan pun akan diberikan secara langsung, bukan daring. Belum sempat program ini berjalan, Virus Corona datang menghantam yang membuat dunia usaha babak belur. Jutaan pekerja di-PHK dan dirumahkan.
Jutaan pelaku usaha kecil kehilangan pencaharian. Jaring pengaman sosial (JPS) mesti disiapkan untuk membantu mereka. Pemerintah lantas banting stir. Program Kartu Prakerja dijadikan salah satu bagian dari JPS, bersama dengan PKH (Program Keluarga Harapan), BLT (Bantuan Langsung Tunai), bantuan sembako, dan berbagai insentif lainnya.
Anggaran Kartu Prakerja dinaikkan dua kali lipat menjadi Rp 20 triliun untuk 5,6 juta peserta. Setiap peserta menerima Rp 3.550.000 dalam bentuk bantuan dana pelatihan sebesar Rp 1 juta dan sisanya insentif tunai yang diberikan bersyarat dan bertahap.
Peserta wajib mengikuti pelatihan secara daring yang disediakan oleh mitra Kartu Prakerja. Tentu saja dengan membayar dari dana pelatihan yang diberikan oleh pemerintah. Pemerintah menyebutnya sebagai semi-BLT.
Kebijakan ini lah yang memicu kritik. Tak hanya itu, implementasinya pun tak luput dari sasaran kritik. Para ekonom, aktivis, anggota DPR, hingga pengamat dan akademisi ramai-ramai bersuara.
Dinilai Sia-Sia
Memberikan pelatihan kepada para pekerja dan warga yang terdampak karena pandemi Corona dinilai tak membantu. Mereka lebih membutuhkan bantuan tunai untuk menyambung hidup ketimbang peningkatan kompetensi.
Pasar tenaga kerja pun dipastikan tutup di tengah pandemi. Anggaran pelatihan sebesar Rp 5,6 triliun akan menjadi sia-sia, dan lebih bermanfaat jika diberikan langsung secara tunai.
Di sisi lain, masyarakat ditengarai berbondong-bondong mengincar kepesertaan karena iming-iming insentif tunai. Jumlah pendaftar hingga penutupan pendaftaran gelombang ketiga pada 30 April 2020 lalu mencapai 8,6 juta.
Sementara peserta yang diterima hingga gelombang kedua tercatat 288.154 orang. Sebanyak 30 gelombang pendaftaran direncakan akan dibuka hingga November mendatang.
Polemik Mitra
Kemunculan mitra Kartu Prakerja memantik kontroversi lebih sengit. Delapan platform e-commerce menjadi mitra tanpa melalui tender. Padahal, mereka akan menerim aliran dana pelatihan dari jutaan peserta yang nilainya triliunan rupiah.
Indonesian Coruption Watch (ICW) menilai praktik ini berpotensi korupsi. Mandat yang diberikan kepada mitra seharusnya melui mekanisme pengadaan barang dan jasa sebagaimana diatur Perpres No.16/2018.
Sebelumnya, aroma konflik kepentingan telah mencuat lantaran startup digital Ruangguru yang didirikan stafsus milenial Presiden Jokowi, Adamas Belva Syah Devara, menjadi salah satu mitra platform pelatihan Kartu prakerja. Polemik ini membuat Adamas mengundurkan diri sebagai stafsus Presiden.
Materi pelatihan juga tak luput kritik hingga dugaan mark-up. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai harga pelatihan yang ditawarkan, yang berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta, terlalu mahal apabila didasarkan biaya produksinya.
Peneliti Indef, Nailul Huda, memperkirakan. "Biaya produksi video pelatihan yang dikeluarkan setiap mitra sekitar Rp 243 miliar. Dengan demikian, kedelapan perusahaan tersebut berpotensi meraup untung hingga Rp 3,7 triliun atau 66% dari total anggaran pelatihan yang sebesar Rp 5,6 triliun". seperti dilansir dari Kompas.com
Persentase keuntungan ini menyalahi aturan BPKP yang membatasi keuntungan maksimal 20%.
Mahalnya materi pelatihan juga mendapat sorotan anggota DPR Habiburokhman. “Saya bingung ada pelatihan bikin pempek (seharga) 600 ribu. Di You Tube itu gratis,” ujar anggota Fraksi Partai Gerindra ini.
Ia mendorong KPK untuk mengejar pihak yang “bermain” dalam program Kartu Prakerja.
Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Panji Winanteya Ruky, mengatakan pihaknya tak melakukan tender dalam menggandeng mitra lantaran bukan merupakan kontrak pengadaan barang dan jasa.
Pemerintah mengucurkan dana pelatihan langsung kepada peserta, dan menyerahkan sepenuhnya kepada peserta untuk melakukan hubungan komersial dengan para mitra. Sebagai mitra, kedelapan platfrom menghubungkan para peserta dengan sekitar 2 ribu jenis pelatihan dari 233 lembaga pelatihan.
Kedelapan platform dirangkul karena memenuhi persyarat. Pemerintah pun tidak membatasi jumlah mitra dan membuka kesempatan kepada siapa pun untuk bergabung sebagai mitra jika memenuhi kriteria.
Bola Salju
Kontroversi Kartu Prakerja terus menggelinding bak bola salju. Sejumlah kalangan kini meminta DPR untuk membentuk pansus guna menyelidik program Kartu Prakerja.
Aroma konflik kepentingan, malpraktik, tidak transparan, hingga masalah etika berpotensi menjadikannya skandal besar. Melihat besarnya anggaran, ditenggarai ada pihak-pihak yang “bermain”. Benarkah? Patut ditelusuri dan diungkap **(Red/Kom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar