RMC, Pandemi virus corona SARS-Cov-2 (Covid-19) sudah berlangsung sejak Desember 2019 sampai hari ini. Sebelum virus ini masuk, Indonesia juga sempat diguncang virus Flu Spanyol yang merenggut nyawa jutaan orang sejak Maret 1918 sampai September 1919.
Mengutip Historia, wabah Flu Spanyol kala itu membuat virologis (cabang biologi yang mempelajari suborganisme, terutama virus) asal Amerika Serikat, Jeffery Taubenberger menyebut jenis flu ini sebagai 'The Mother of All Pandemics'.
Sejumlah epidemiologis Amerika berpendapat bahwa virus Flu Spanyol diboyong oleh beberapa buruh asal China dan Vietnam yang direkrut militer Inggris dan Perancis selama Perang Dunia I. Sebab, mereka terbiasa hidup berdekatan dengan burung dan babi.
Kendati demikian, pernyataan itu dibantah oleh editor Journal of Infectious Disease, Edwin Jordan yang menyatakan bahwa wabah flu tidak dibawa oleh buruh China dan tidak berbahaya. Jordan malah menyebut kalau Flu Spanyol berasal dari India atau Perancis tetapi hanya bersifat endemik.
Penamaan Flu Spanyol sendiri diambil dari buku yang ditulis Gina Kolata berjudul, 'Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus that Caused It' yang berasal dari pemberitaan media-media di Spanyol dan menyebar ke seluruh dunia.
Tingginya orang yang terkontaminasi virus Flu Spanyol ini disebabkan oleh virus ditularkan melalui udara, maka kala itu para epidemiolog memperkirakan bahwa setidaknya satu miliar orang telah terjangkit virus.
Sementara korban tewas mencapai puluhan sampai 100 juta orang menurut data dari dua orang epidemiolog Australia yaitu Juergen Mueller dan Niall Johnson, yang mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20 hingga 40 tahun dan 40 sampai 70 tahun.
Artinya, dalam kurun waktu Maret 1918 sampai September 1919, Flu Spanyol telah merenggut nyawa sekitar dua persen populasi dunia yaitu 1,7 miliar orang. Maka para epidemiolog menyimpulkan bahwa Flu Spanyol merupakan jenis virus yang paling mematikan dan jauh lebih berbahaya dari cacar, pes, dan kolera.
Pandemi Flu Spanyol di Indonesia
Menurut Layanan Kesehatan Masyarakat (Burgerlijke Geneeskundige Dienst/BGD) pada zaman kolonial menghimpun data pandemi Flu Spanyol 1918 hingga 1919 di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), virus ini dinilai sangat berbahaya.
Saat itu, salah satu anggota BGD ialah pendiri Palang Merah Indonesia, Dr. Sardjito. BGD melalukan survei terhadap 83 praktisi medis di seluruh wilayah Indonesia. Sardjito
dan tim juga menganalisis data kematian terdaftar yang dilaporkan tiap kecamatan.
Dikutip dari laman situs The Conversation, berdasarkan laporan BDG, laporan tersebut menunjukkan bahwa kasus Flu Spanyol pertama kali dilaporkan pada Juli 1918 namun baru terdeteksi pada September 1918. Sementara puncaknya pada akhir November 1918.
Laporan selanjutnya menunjukkan bahwa tingkat kematian menurun cepat usai November 1918 tetapi ada kemungkinan virus kembali muncul di tingkat daerah.
Selain itu menurut laporan BDG, dampak pandemi itu tersebar tidak merata di berbagai kecamatan di Jawa. Jawa Tengah, Jawa Timur, dan kota-kota di Jawa Barat saat itu menjadi daerah yang paling terdampak.
Tingkat kematian Flu Spanyol di Indonesia tahun 1918 menurut data menyentuh persentase 35 persen. Dengan menggunakan angka kematian di atas rata-rata mingguan dan data jumlah populasi, angka kematian diperkirakan dari September 1918 hingga September 1919 berjumlah 906 ribu di Pulau Jawa.
Data tersebut juga disandingkan dengan data kualitatif yang menunjukkan persentase kematian yang sama. Artinya, total kematian sekitar 1,3 juta atau 2,5 persen dari jumlah populasi Indonesia waktu itu yakni 53 juta orang.
Saat pandemi Flu Spanyol berlangsung, masyarakat menilai bahwa pemerintah tidak efektif dalam mengendalikan pandemi karena jumlah kematian terus naik. Flu Spanyol di wilayah Indonesia sendiri baru mereda setelah satu tahun. **(Red/CN)
Mengutip Historia, wabah Flu Spanyol kala itu membuat virologis (cabang biologi yang mempelajari suborganisme, terutama virus) asal Amerika Serikat, Jeffery Taubenberger menyebut jenis flu ini sebagai 'The Mother of All Pandemics'.
Sejumlah epidemiologis Amerika berpendapat bahwa virus Flu Spanyol diboyong oleh beberapa buruh asal China dan Vietnam yang direkrut militer Inggris dan Perancis selama Perang Dunia I. Sebab, mereka terbiasa hidup berdekatan dengan burung dan babi.
Kendati demikian, pernyataan itu dibantah oleh editor Journal of Infectious Disease, Edwin Jordan yang menyatakan bahwa wabah flu tidak dibawa oleh buruh China dan tidak berbahaya. Jordan malah menyebut kalau Flu Spanyol berasal dari India atau Perancis tetapi hanya bersifat endemik.
Penamaan Flu Spanyol sendiri diambil dari buku yang ditulis Gina Kolata berjudul, 'Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus that Caused It' yang berasal dari pemberitaan media-media di Spanyol dan menyebar ke seluruh dunia.
Tingginya orang yang terkontaminasi virus Flu Spanyol ini disebabkan oleh virus ditularkan melalui udara, maka kala itu para epidemiolog memperkirakan bahwa setidaknya satu miliar orang telah terjangkit virus.
Sementara korban tewas mencapai puluhan sampai 100 juta orang menurut data dari dua orang epidemiolog Australia yaitu Juergen Mueller dan Niall Johnson, yang mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20 hingga 40 tahun dan 40 sampai 70 tahun.
Artinya, dalam kurun waktu Maret 1918 sampai September 1919, Flu Spanyol telah merenggut nyawa sekitar dua persen populasi dunia yaitu 1,7 miliar orang. Maka para epidemiolog menyimpulkan bahwa Flu Spanyol merupakan jenis virus yang paling mematikan dan jauh lebih berbahaya dari cacar, pes, dan kolera.
Pandemi Flu Spanyol di Indonesia
Menurut Layanan Kesehatan Masyarakat (Burgerlijke Geneeskundige Dienst/BGD) pada zaman kolonial menghimpun data pandemi Flu Spanyol 1918 hingga 1919 di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), virus ini dinilai sangat berbahaya.
Saat itu, salah satu anggota BGD ialah pendiri Palang Merah Indonesia, Dr. Sardjito. BGD melalukan survei terhadap 83 praktisi medis di seluruh wilayah Indonesia. Sardjito
dan tim juga menganalisis data kematian terdaftar yang dilaporkan tiap kecamatan.
Dikutip dari laman situs The Conversation, berdasarkan laporan BDG, laporan tersebut menunjukkan bahwa kasus Flu Spanyol pertama kali dilaporkan pada Juli 1918 namun baru terdeteksi pada September 1918. Sementara puncaknya pada akhir November 1918.
Laporan selanjutnya menunjukkan bahwa tingkat kematian menurun cepat usai November 1918 tetapi ada kemungkinan virus kembali muncul di tingkat daerah.
Selain itu menurut laporan BDG, dampak pandemi itu tersebar tidak merata di berbagai kecamatan di Jawa. Jawa Tengah, Jawa Timur, dan kota-kota di Jawa Barat saat itu menjadi daerah yang paling terdampak.
Tingkat kematian Flu Spanyol di Indonesia tahun 1918 menurut data menyentuh persentase 35 persen. Dengan menggunakan angka kematian di atas rata-rata mingguan dan data jumlah populasi, angka kematian diperkirakan dari September 1918 hingga September 1919 berjumlah 906 ribu di Pulau Jawa.
Data tersebut juga disandingkan dengan data kualitatif yang menunjukkan persentase kematian yang sama. Artinya, total kematian sekitar 1,3 juta atau 2,5 persen dari jumlah populasi Indonesia waktu itu yakni 53 juta orang.
Saat pandemi Flu Spanyol berlangsung, masyarakat menilai bahwa pemerintah tidak efektif dalam mengendalikan pandemi karena jumlah kematian terus naik. Flu Spanyol di wilayah Indonesia sendiri baru mereda setelah satu tahun. **(Red/CN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar