RedaksiManado.Com -- Sejumlah pegiat pemilu dan ahli hukum menggugat syarat ambang batas pencalonan presiden.
Mereka mengajukan uji materi terhadap pasal dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang digugat itu mengatur bahwa syarat pencalonan presiden adalah memiliki dukungan 20 persen suara di parlemen.
Para penggugat merasa bahwa pencalonan presiden sebaiknya tidak memiliki syarat ambang batas kepemilikan suara di parlemen. Menurut mereka, syarat tersebut tidak diatur dalam UUD 1945 yang merupakan rujukan segala peraturan di Indonesia. Para penggugat menganggap UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal membuka pendaftaran bakal calon presiden-wakil presiden pada 4-19 Agustus. Hanya tinggal satu bulan saja.
Direktur Eksekutif Indobarometer Mohammad Qodari menilai bakal ada perubahan peta politik jika MK mengabulkan para penggugat. Dia mengatakan bahwa jumlah capres-cawapres bisa mencapai lebih dari lima pasang.
"Bisa memecahkan rekor jumlah paslon sejak era pemilihan langsung. Sejauh ini, yang terbanyak pas Pilpres 2004 ya, ada lima pasang," tutur Qodari saat dihubungi, Rabu (4/7).
Qodari menjelaskan jika ambang batas pencalonan presiden ditiadakan, tentu akan membuat nama-nama baru muncul ke permukaan. Minimal, kata Qodari, parpol akan percaya diri mengusung ketua umumnya.
Misalnya, PKB mengusung Muhaimin Iskandar dan PPP memajukan Rommahurmuziy. "Termasuk Partai Berkarya. Pasti memajukan Tommy Soeharto. Saya kira, setiap orang yang mendirikan partai punya niat ke sana [menjadi presiden]. Kecuali Surya Paloh," kata Qodari.
Dia menilai eks Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Yusril Ihza Mahendra, Agus Harimurti Yudhoyono juga semakin tidak sungkan memproklamirkan diri sebagai calon presiden.
Mengenai Gatot dan Rizal, Qodari mengamini keduanya bukan kader partai politik. Namun, ada kemungkinan parpol yang menggaet keduanya lantaran memiliki popularitas yang cukup besar. Terlebih, Gatot dan Rizal sudah menunjukkan gelagat ambisi menjadi capres.
Gatot dan Rizal juga dapat menguntungkan parpol pengusung dalam aspek perolehan suara pemilihan legislatif. Menurut Qodari, masyarakat cenderung memilih caleg dari parpol yang mengusung capres. terlebih, Pemilu 2019 mendatang akan digelar serentak. Pemilih akan disodorkan lima suarat suara sekaligus untuk memilih capres-cawapres, caleg DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta DPD.
Untung-Rugi
Andai MK mengabulkan gugatan, dan ambang batas pencalonan presiden menjadi 0 persen suara DPR, Qodari menilai tidak ada yang dirugikan.
Dia mengamini bahwa parpol yang telah mendukung Jokowi bisa saja putar haluan dan mengusung capres dari kadernya sendiri. Jokowi bisa saja menjadi pihak yang dirugikan karena ditinggal sejumlah parpol pengusung.
Sejauh ini, PDIP, Golkar, NasDem, PPP, Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI telah menyatakan bakal mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Namun, Qodari mengatakan parpol tetap melakukan kalkulasi. Parpol tidak akan mengusung capres, bahkan ketua umumnya sekalipun, jika tidak memiliki popularitas yang cukup. Jika mengusung nama dengan popularitas seadanya, parpol justru merugi. Alasannya, biaya kampanye yang dikeluarkan bisa tidak menghasilkan apa-apa karena tokoh yang diusung tidak dikenal masyarakat.
Qodari juga mengaku sebagai orang yang percaya bahwa parpol akan mendapat keuntungan di pileg jika mengusung capres sendiri. Tetapi, kata Qodari, tidak selalu demikian. Menurutnya, Parpol tidak akan mendapat keuntungan di pileg jika mengusung capres yang tidak memiliki popularitas.
Dia memberi contoh Partai Golkar jika mengusung ketua umum Airlangga Hartarto menjadi capres.
Menurut Qodari, calon anggota legislatif Golkar tidak akan meraih suara karena ketua umumnya menjadi capres. Alasannya, elektabilitas Airlangga lebih kecil daripada elektabilitas partainya. Airlangga tidak akan mempengaruhi masyarakat dalam melihat partai Golkar pada pemilu serentak mendatang. "Jadi enggak akan mempengaruhi hasil pileg kalau elektabilitas lebih rendah. Lokomotif harus lebih kuat daripada gerbong," kata Qodari.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan hal senada. Menurutnya, parpol tetap akan berhitung sebelum mengusung capres andai MK menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden.
Adi lantas menyinggung soal pihak yang diuntungkan jika ambang batas presiden dihapus. Adi mengatakan parpol yang selama ini menjadi oposisi Jokowi kan menuai untung. Misalnya, Gerindra dan PKS.
Keuntungan yang diperoleh kedua partai tersebut yakni ketika elektabilitas Jokowi berpotensi menurun. Hal itu sangat mungkin terjadi karena akan muncul tokoh-tokoh baru. Parpol pendukung Jokowi pun bisa saja menarik dukungan dan mengusung capres sendiri.
"Orang-orang seperti Hary Tanoe, Gatot Nurmantyo, Amien Rais tinggal termasuk. Tinggal ada parpol yang mau menggaet atau tidak. Saya prediksi empat calon lah," kata Adi.
Selain itu, Adi yakin bahwa para pegiat pemilu dan ahli hukum tidak memiliki kepentingan politis ketika memutuskan untuk menggugat ambang batas pencalonan presiden ke MK. Menurutnya, itu murni aspek hukum.
Adi mengatakan bahwa peraturan ambang batas presiden 20 persen suara di parlemen memang cenderung menabrak logika akal sehat. Bahkan bagi kalangan awam sekalipun.
"Saya kira teman-teman aktivis nothing to lose. Tidak ada yang dipaksakan secara politis. Murni masalah hukum," ucap Adi.
Adi menjelaskan bahwa Pemilu serentak 2019 merupakan awal baru bagi perhelatan demokrasi di Indonesia.
Pada pemilu 2014, pileg diselenggarakan terlebih dahulu. Kemudian perolehan suara hasil pileg digunakan sebagai syarat parpol untuk mengusung capres-cawapres pada pilpres yang diselenggarakan terpisah. Sementara pada Pemilu 2019, pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak.
Sebagaimana awalan pada umumnya, kata Adi, semua pihak mestinya bertanding dengan start yang sama. Dengan kata lain, hasil pemilu 2014 sudah tidak dapat digunakan sebagai syarat untuk mengusung capres-cawapres pada Pemilu 2019 yang memiliki mekanisme berbeda.
Diketahui, UU No. 7 tahun 2017 mengatur bahwa parpol dapat mengusung capres-cawapres jika memiliki suara 20 persen suara di parlemen hasil Pemilu 2014. "Karena ini serentak. Saya kira kalau tidak serentak, semuanya setuju ada ambang batas," kata Adi. *(Red)
Mereka mengajukan uji materi terhadap pasal dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang digugat itu mengatur bahwa syarat pencalonan presiden adalah memiliki dukungan 20 persen suara di parlemen.
Para penggugat merasa bahwa pencalonan presiden sebaiknya tidak memiliki syarat ambang batas kepemilikan suara di parlemen. Menurut mereka, syarat tersebut tidak diatur dalam UUD 1945 yang merupakan rujukan segala peraturan di Indonesia. Para penggugat menganggap UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal membuka pendaftaran bakal calon presiden-wakil presiden pada 4-19 Agustus. Hanya tinggal satu bulan saja.
Direktur Eksekutif Indobarometer Mohammad Qodari menilai bakal ada perubahan peta politik jika MK mengabulkan para penggugat. Dia mengatakan bahwa jumlah capres-cawapres bisa mencapai lebih dari lima pasang.
"Bisa memecahkan rekor jumlah paslon sejak era pemilihan langsung. Sejauh ini, yang terbanyak pas Pilpres 2004 ya, ada lima pasang," tutur Qodari saat dihubungi, Rabu (4/7).
Qodari menjelaskan jika ambang batas pencalonan presiden ditiadakan, tentu akan membuat nama-nama baru muncul ke permukaan. Minimal, kata Qodari, parpol akan percaya diri mengusung ketua umumnya.
Misalnya, PKB mengusung Muhaimin Iskandar dan PPP memajukan Rommahurmuziy. "Termasuk Partai Berkarya. Pasti memajukan Tommy Soeharto. Saya kira, setiap orang yang mendirikan partai punya niat ke sana [menjadi presiden]. Kecuali Surya Paloh," kata Qodari.
Dia menilai eks Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Yusril Ihza Mahendra, Agus Harimurti Yudhoyono juga semakin tidak sungkan memproklamirkan diri sebagai calon presiden.
Mengenai Gatot dan Rizal, Qodari mengamini keduanya bukan kader partai politik. Namun, ada kemungkinan parpol yang menggaet keduanya lantaran memiliki popularitas yang cukup besar. Terlebih, Gatot dan Rizal sudah menunjukkan gelagat ambisi menjadi capres.
Gatot dan Rizal juga dapat menguntungkan parpol pengusung dalam aspek perolehan suara pemilihan legislatif. Menurut Qodari, masyarakat cenderung memilih caleg dari parpol yang mengusung capres. terlebih, Pemilu 2019 mendatang akan digelar serentak. Pemilih akan disodorkan lima suarat suara sekaligus untuk memilih capres-cawapres, caleg DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta DPD.
Untung-Rugi
Andai MK mengabulkan gugatan, dan ambang batas pencalonan presiden menjadi 0 persen suara DPR, Qodari menilai tidak ada yang dirugikan.
Dia mengamini bahwa parpol yang telah mendukung Jokowi bisa saja putar haluan dan mengusung capres dari kadernya sendiri. Jokowi bisa saja menjadi pihak yang dirugikan karena ditinggal sejumlah parpol pengusung.
Sejauh ini, PDIP, Golkar, NasDem, PPP, Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI telah menyatakan bakal mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Namun, Qodari mengatakan parpol tetap melakukan kalkulasi. Parpol tidak akan mengusung capres, bahkan ketua umumnya sekalipun, jika tidak memiliki popularitas yang cukup. Jika mengusung nama dengan popularitas seadanya, parpol justru merugi. Alasannya, biaya kampanye yang dikeluarkan bisa tidak menghasilkan apa-apa karena tokoh yang diusung tidak dikenal masyarakat.
Qodari juga mengaku sebagai orang yang percaya bahwa parpol akan mendapat keuntungan di pileg jika mengusung capres sendiri. Tetapi, kata Qodari, tidak selalu demikian. Menurutnya, Parpol tidak akan mendapat keuntungan di pileg jika mengusung capres yang tidak memiliki popularitas.
Dia memberi contoh Partai Golkar jika mengusung ketua umum Airlangga Hartarto menjadi capres.
Menurut Qodari, calon anggota legislatif Golkar tidak akan meraih suara karena ketua umumnya menjadi capres. Alasannya, elektabilitas Airlangga lebih kecil daripada elektabilitas partainya. Airlangga tidak akan mempengaruhi masyarakat dalam melihat partai Golkar pada pemilu serentak mendatang. "Jadi enggak akan mempengaruhi hasil pileg kalau elektabilitas lebih rendah. Lokomotif harus lebih kuat daripada gerbong," kata Qodari.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan hal senada. Menurutnya, parpol tetap akan berhitung sebelum mengusung capres andai MK menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden.
Adi lantas menyinggung soal pihak yang diuntungkan jika ambang batas presiden dihapus. Adi mengatakan parpol yang selama ini menjadi oposisi Jokowi kan menuai untung. Misalnya, Gerindra dan PKS.
Keuntungan yang diperoleh kedua partai tersebut yakni ketika elektabilitas Jokowi berpotensi menurun. Hal itu sangat mungkin terjadi karena akan muncul tokoh-tokoh baru. Parpol pendukung Jokowi pun bisa saja menarik dukungan dan mengusung capres sendiri.
"Orang-orang seperti Hary Tanoe, Gatot Nurmantyo, Amien Rais tinggal termasuk. Tinggal ada parpol yang mau menggaet atau tidak. Saya prediksi empat calon lah," kata Adi.
Selain itu, Adi yakin bahwa para pegiat pemilu dan ahli hukum tidak memiliki kepentingan politis ketika memutuskan untuk menggugat ambang batas pencalonan presiden ke MK. Menurutnya, itu murni aspek hukum.
Adi mengatakan bahwa peraturan ambang batas presiden 20 persen suara di parlemen memang cenderung menabrak logika akal sehat. Bahkan bagi kalangan awam sekalipun.
"Saya kira teman-teman aktivis nothing to lose. Tidak ada yang dipaksakan secara politis. Murni masalah hukum," ucap Adi.
Adi menjelaskan bahwa Pemilu serentak 2019 merupakan awal baru bagi perhelatan demokrasi di Indonesia.
Pada pemilu 2014, pileg diselenggarakan terlebih dahulu. Kemudian perolehan suara hasil pileg digunakan sebagai syarat parpol untuk mengusung capres-cawapres pada pilpres yang diselenggarakan terpisah. Sementara pada Pemilu 2019, pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak.
Sebagaimana awalan pada umumnya, kata Adi, semua pihak mestinya bertanding dengan start yang sama. Dengan kata lain, hasil pemilu 2014 sudah tidak dapat digunakan sebagai syarat untuk mengusung capres-cawapres pada Pemilu 2019 yang memiliki mekanisme berbeda.
Diketahui, UU No. 7 tahun 2017 mengatur bahwa parpol dapat mengusung capres-cawapres jika memiliki suara 20 persen suara di parlemen hasil Pemilu 2014. "Karena ini serentak. Saya kira kalau tidak serentak, semuanya setuju ada ambang batas," kata Adi. *(Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar