RedaksiManado.Com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah memiliki kepentingan politik dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang turut menjerat Wali Kota Blitar Muh Samanhudi Anwar dan Bupati Tulungagung Syahri Mulyo sebagai tersangka suap.
Lembaga antirasuah tak pernah memilih sasaran dalam setiap melakukan OTT terhadap pihak-pihak yang diduga menerima suap. KPK enggak milih-milih sasaran, yang utama itu hukum-hukum pembuktian yang dikedepankan," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat dikonfirmasi lewat pesan singkat, Senin (11/6).
Saut mengatakan bila ada pihak-pihak yang merasa keberatan terhadap penangkapan serta penetapan tersangka tak dapat dilakukan hanya melalui opini di media. Menurut Saut, semua yang dilakukan KPK itu akan dibuktikan melalui pengadilan.
"Banyak instrumen, apakah prapradilan, banding, dan lainnya yang diatur. Jadi debat tentang kerja-kerja KPK itu akan lebih elegan bila di pengadilan dilakukannya," tutur mantan Staf Ahli Badan Intelijen Negara (BIN) itu.
Menurut Saut, dirinya pun mengusulkan kepada jaksa penuntut umum bila menangani pejabat negara dari instansi yang pernah ditangani KPK agar dijadikan pertimbangan memperberatkan. Hal tersebut perlu dilakukan agar memberikan efek jera.
"Sebab KPK seolah hanya dianggap angin semilir sepoi yang bikin ngantuk. Bukan malah berubah, lalu negara tetap saja rugi alias negara enggak ada dampaknya," kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristianto menyebut OTT yang dilakukan oleh KPK belakangan ini terkesan politis. Hasto menilai OTT KPK politis karena kepala daerah yang ditangkap adalah orang memiliki elektabilitas tinggi.
"Kesan adanya kepentingan politik ini dapat dicermati pada kasus OTT terhadap Samanhudi Wali Kota Blitar dan Syahri Mulyo calon bupati terkuat di Tulungagung," kata Hasto lewat keterangan tertulis, Minggu (10/6).
Samanhudi dan Syahri telah ditetapkan sebagai tersangka suap proyek pembangunan di lingkungan pemerintahan masing-masing. Syahri diduga menerima suap terkait proyek peningkatan jalan, sementara Samanhudi terkait proyek pembangunan sekolah.
Penetapan tersangka mereka berdua merupakan hasil dari pengungkapan kasus dugaan suap lewat OTT. Dalam operasi senyap tersebut, tim penindakan KPK turut mengamankan uang sejumlah Rp2,5 miliar.
Samanhudi diduga menerima Rp1,5 miliar terkait proyek pembangunan sekolah di Blitar. Sedangkan Syahri diduga menerima Rp1 miliar.
Pemberian uang kepada Syahri itu merupakan yang ketiga kalinya. Sebelumnya, calon kepala daerah yang ikut diusung PDIP itu telah menerima uang sebesar Rp500 juta pada pemberian pertama dan Rp1 miliar pada yang kedua.
Dalam kasus yang menjerat mereka, KPK turut menetapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Tulungagung, Sutrisno, Agung Prayitno, Bambang Purnomo, dan Susilo Prabowo sebagai tersangka. Mereka berempat telah ditahan usai ditetapkan sebagai tersangka semalam. (Red/CN)
Lembaga antirasuah tak pernah memilih sasaran dalam setiap melakukan OTT terhadap pihak-pihak yang diduga menerima suap. KPK enggak milih-milih sasaran, yang utama itu hukum-hukum pembuktian yang dikedepankan," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat dikonfirmasi lewat pesan singkat, Senin (11/6).
Saut mengatakan bila ada pihak-pihak yang merasa keberatan terhadap penangkapan serta penetapan tersangka tak dapat dilakukan hanya melalui opini di media. Menurut Saut, semua yang dilakukan KPK itu akan dibuktikan melalui pengadilan.
"Banyak instrumen, apakah prapradilan, banding, dan lainnya yang diatur. Jadi debat tentang kerja-kerja KPK itu akan lebih elegan bila di pengadilan dilakukannya," tutur mantan Staf Ahli Badan Intelijen Negara (BIN) itu.
Menurut Saut, dirinya pun mengusulkan kepada jaksa penuntut umum bila menangani pejabat negara dari instansi yang pernah ditangani KPK agar dijadikan pertimbangan memperberatkan. Hal tersebut perlu dilakukan agar memberikan efek jera.
"Sebab KPK seolah hanya dianggap angin semilir sepoi yang bikin ngantuk. Bukan malah berubah, lalu negara tetap saja rugi alias negara enggak ada dampaknya," kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristianto menyebut OTT yang dilakukan oleh KPK belakangan ini terkesan politis. Hasto menilai OTT KPK politis karena kepala daerah yang ditangkap adalah orang memiliki elektabilitas tinggi.
"Kesan adanya kepentingan politik ini dapat dicermati pada kasus OTT terhadap Samanhudi Wali Kota Blitar dan Syahri Mulyo calon bupati terkuat di Tulungagung," kata Hasto lewat keterangan tertulis, Minggu (10/6).
Samanhudi dan Syahri telah ditetapkan sebagai tersangka suap proyek pembangunan di lingkungan pemerintahan masing-masing. Syahri diduga menerima suap terkait proyek peningkatan jalan, sementara Samanhudi terkait proyek pembangunan sekolah.
Penetapan tersangka mereka berdua merupakan hasil dari pengungkapan kasus dugaan suap lewat OTT. Dalam operasi senyap tersebut, tim penindakan KPK turut mengamankan uang sejumlah Rp2,5 miliar.
Samanhudi diduga menerima Rp1,5 miliar terkait proyek pembangunan sekolah di Blitar. Sedangkan Syahri diduga menerima Rp1 miliar.
Pemberian uang kepada Syahri itu merupakan yang ketiga kalinya. Sebelumnya, calon kepala daerah yang ikut diusung PDIP itu telah menerima uang sebesar Rp500 juta pada pemberian pertama dan Rp1 miliar pada yang kedua.
Dalam kasus yang menjerat mereka, KPK turut menetapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Tulungagung, Sutrisno, Agung Prayitno, Bambang Purnomo, dan Susilo Prabowo sebagai tersangka. Mereka berempat telah ditahan usai ditetapkan sebagai tersangka semalam. (Red/CN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar