RedaksiManado.Com - Bom bunuh diri mengguncang sejumlah gereja di Surabaya. Korban jiwa berjatuhan. Kegeraman terhadap aksi terorisme disusul juga dengan imbauan untuk tidak menyebarkan foto dan video korban yang memang kondisinya sangat mengenaskan.
Ada beberapa alasan psikologis yang mendasari imbauan untuk tidak ikut-ikutan share atau membagikan foto korban. Alasan pertama terkait dengan empati bagi korban dan keluarganya, seperti disampaikan dr Suzy Yusna Dewi, SpKJ, psikiater dari RSJ dr Soeharto Heerdjan.
"Secara psikologis, keluarga korban pasti merasa sangat sedih. Sebaiknya memang tidak disebar (foto-totonya)," kata dr Suzy saat dihubungi detikHealth.
Tujuan membuat teror akan tercapai andaikan kita terprovokasi menyebarkan gambar. Ingat, tidak semua orang bereaksi sama dengan kejadian ini
Alasan berikutnya adalah efek traumatis. Tidak hanya berdampak para orang-orang yang saat itu ada di lokasi, tetapi juga mereka yang pernah berada pada situasi serupa. Foto-foto yang beredar bisa memunculkan secondary trauma, yakni trauma yang muncul hanya dengan melihat dan menjiwai suatu peristiwa sesuai pengalaman hidup seseorang.
"Orang yang pernah punya trauma serupa juga bisa diingatkan akan traumanya. Kan jadinya retraumatized," kata Rahajeng Ika, seorang psikolog di Jakarta.
Efek lain yang tak kalah mengerikan, menurut Ika adalah efek bagi pelaku teror. Beredarnya foto-foto mengerikan para korban bisa dilihat sebagai 'keberhasilan' pelaku untuk menebar teror, menakut-nakuti, dan bahkan mengadu domba.
"Akan tercapai andaikan kita terprovokasi menyebarkan gambar. Ingat, tidak semua orang bereaksi sama dengan kejadian ini," pesan Ika. (Red)
Ada beberapa alasan psikologis yang mendasari imbauan untuk tidak ikut-ikutan share atau membagikan foto korban. Alasan pertama terkait dengan empati bagi korban dan keluarganya, seperti disampaikan dr Suzy Yusna Dewi, SpKJ, psikiater dari RSJ dr Soeharto Heerdjan.
"Secara psikologis, keluarga korban pasti merasa sangat sedih. Sebaiknya memang tidak disebar (foto-totonya)," kata dr Suzy saat dihubungi detikHealth.
Tujuan membuat teror akan tercapai andaikan kita terprovokasi menyebarkan gambar. Ingat, tidak semua orang bereaksi sama dengan kejadian ini
Alasan berikutnya adalah efek traumatis. Tidak hanya berdampak para orang-orang yang saat itu ada di lokasi, tetapi juga mereka yang pernah berada pada situasi serupa. Foto-foto yang beredar bisa memunculkan secondary trauma, yakni trauma yang muncul hanya dengan melihat dan menjiwai suatu peristiwa sesuai pengalaman hidup seseorang.
"Orang yang pernah punya trauma serupa juga bisa diingatkan akan traumanya. Kan jadinya retraumatized," kata Rahajeng Ika, seorang psikolog di Jakarta.
Efek lain yang tak kalah mengerikan, menurut Ika adalah efek bagi pelaku teror. Beredarnya foto-foto mengerikan para korban bisa dilihat sebagai 'keberhasilan' pelaku untuk menebar teror, menakut-nakuti, dan bahkan mengadu domba.
"Akan tercapai andaikan kita terprovokasi menyebarkan gambar. Ingat, tidak semua orang bereaksi sama dengan kejadian ini," pesan Ika. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar