RedaksiManado.Com - Maraknya penangkapan artis yang terjerat narkotika menambah sederet prestasi aparat penegak hukum. Sayangnya, para artis pemadat tersebut tidak akan lama menjadi penghuni hotel prodeo. Tak lama setelah ditangkap, si artis pemadat akan mendapatkan rekomendasi untuk rehabilitasi. Selanjutnya, mereka sudah kembali bebas berbaur di tengah masyarakat.
Hal itu tentu berbanding terbalik ketika warga biasa yang terjerat kasus serupa. Praktis, menimbulkan kesan ada tebang pilih dalam penegakan hukum.
Menanggapi itu, Kriminolog Adrianus Meliala tak menampiknya. "Kecurigaan orang memang begitu," ujar Adrianus saat dikonfirmasi Wartawan, Kamis (15/2). Ia menjelaskan permasalahan berada kepada akses. "Yang sebetulnya terjadi adl, karena artis, maka mereka lebih mudah mengakses penyidik, pelayanan assessment narkoba dan pemberian jaminan untuk ikut rehabilitasi serta ikut rehab itu sendiri," jelasnya.
"Jangan-jangan malah pusat-pusat rehab yg malah sibuk membantu si artis," sambungnya.
Sedangkan, lanjutnya, untuk warga biasa biasanya tidak mempunyai akses atau kenalan yang bisa mencarikan informasi terkait pusat rehabilitasi. "Maka tergantung penyidik (pencarian pusat rehabilitasi)," ucapnya.
Sayangnya, jika bergantung pada rekomendasi penyidik memakan waktu lama. "Bisa dibilang begitu. Karena sistemnya kan tidak terintegrasi, ada banyak lembaga yg ngurusin (dengan tata kelola yang berbeda-beda) dan tidak online," ungkapnya.
Ia menegaskan dalam hal itu seorang artis yang terjerat narkoba berada dalam posisi yang diuntungkan. " Jadi si artis berada pada posisi diuntungkan punya uang, banyak fans yang mau membantu kasih info dan bahkan polisi pun lebih murah hati memberi diskresi," bebernya.
"Kalau orang biasa/susah, hal-hal di atas relatif sulit diperoleh," tambahnya.
Fakta itu, tambah Adrianus, yang menjadi sorotan Ombudsman. "Kami di Ombudsman kan juga sudah mengkritik konsep rehab yang ada sekarang. Niatnya baik tetapi amat memungkinkan terjadi maladministrasi," tandasnya.
[Red/Mer]
Hal itu tentu berbanding terbalik ketika warga biasa yang terjerat kasus serupa. Praktis, menimbulkan kesan ada tebang pilih dalam penegakan hukum.
Menanggapi itu, Kriminolog Adrianus Meliala tak menampiknya. "Kecurigaan orang memang begitu," ujar Adrianus saat dikonfirmasi Wartawan, Kamis (15/2). Ia menjelaskan permasalahan berada kepada akses. "Yang sebetulnya terjadi adl, karena artis, maka mereka lebih mudah mengakses penyidik, pelayanan assessment narkoba dan pemberian jaminan untuk ikut rehabilitasi serta ikut rehab itu sendiri," jelasnya.
"Jangan-jangan malah pusat-pusat rehab yg malah sibuk membantu si artis," sambungnya.
Sedangkan, lanjutnya, untuk warga biasa biasanya tidak mempunyai akses atau kenalan yang bisa mencarikan informasi terkait pusat rehabilitasi. "Maka tergantung penyidik (pencarian pusat rehabilitasi)," ucapnya.
Sayangnya, jika bergantung pada rekomendasi penyidik memakan waktu lama. "Bisa dibilang begitu. Karena sistemnya kan tidak terintegrasi, ada banyak lembaga yg ngurusin (dengan tata kelola yang berbeda-beda) dan tidak online," ungkapnya.
Ia menegaskan dalam hal itu seorang artis yang terjerat narkoba berada dalam posisi yang diuntungkan. " Jadi si artis berada pada posisi diuntungkan punya uang, banyak fans yang mau membantu kasih info dan bahkan polisi pun lebih murah hati memberi diskresi," bebernya.
"Kalau orang biasa/susah, hal-hal di atas relatif sulit diperoleh," tambahnya.
Fakta itu, tambah Adrianus, yang menjadi sorotan Ombudsman. "Kami di Ombudsman kan juga sudah mengkritik konsep rehab yang ada sekarang. Niatnya baik tetapi amat memungkinkan terjadi maladministrasi," tandasnya.
[Red/Mer]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar