» » » PGI Minta Jokowi Buka Hubungan Diplomatik dengan Israel

RedaksiManado.Com -- Pengurus Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Albertus Patty, mendorong Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah Israel agar bisa menjadi mediator dalam penyelesaian konflik antara Palestina dan Israel.

Menurut Albertus, negara harus bersikap objektif agar bisa menjadi penengah suatu konflik, salah satunya dengan menjalin hubungan dengan kedua belah pihak yang bertikai. Namun, ia mengatakan selama ini pemerintah Indonesia hanya memiliki hubungan dengan Palestina.

Dia berpendapat, Indonesia hanya bisa ikut terlibat sebagai partisipan mediator konflik bila berani membuka hubungan dengan Israel. Hanya dengan begitu, negara bisa berjuang ikut dalam proses perdamaian. Sebaliknya, lanjutnya, jika sejak awal Indonesia tak bersikap objektif, maka akan sulit berkontribusi dalam perdamaian."Selama ini Indonesia terlalu berpikir dari segi Palestina-nya, dan celakanya tak jarang dari kita (warga) berpikir tenrang Palestina dari sudut pandang Islam. Ini yang bahaya. Padahal, kita sepakat konflik Israel-Palestina bukan konflik agama," kata Albertus dalam acara Diskusi Publik & Rekomendasi RI sebagai Mediator Perdamaian Konflik Israel-Palestina di Jakarta, Sabtu (23/12).

Indonesia, tutur Albertus, harus mulai berpikir dalam konteks yang lebih besar lagi dalam menyikapi konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini. Dia berharap penyelesaian konflik ini bisa mengakomodasi kedua bangsa untuk secara berdampingan hidup berdamai.

"Di Palestina sendiri tidak hanya ada Muslim, tapi Kristiani dan juga Yahudi. Selama ini kita berjuang untuk Palestina bagus, tapi pada sisi lain kita juga harus lihat teman-teman di Israel yang selama ini dikejar di Eropa Barat dan Timur, di mana mereka juga punya ketakutan akan sejarah yang harus kita pahami," ucap Albertus.

Menurut dia, kaum Yahudi juga punya hak untuk dapat keadilan dan perdamaian. Pada kesempatan itu, dia mengakui bahwa Palestina memang punya hak atas Yerusalem, tapi keputusan soal tanah itu bukan keputusan yang harus dilakukan Amerika Serikat, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurut dia, keputusan itu harus ditetapkan oleh Israel-Palestina untuk masa depan mereka sendiri.

Berbeda dengan Albertus, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, mengatakan pemerintah tidak perlu sampai harus membuka hubungan diplomatik dengan Israel hanya untuk menjadi mediator konflik Palestina dan Israel.

Sebab, untuk menjadi penengah konflik, menurutnya, suatu negara harus memiliki kapasitas finansial dan sumber daya yang memadai. Selain itu, masih banyak cara bagi pemerintah untuk tetap bisa berkontribusi dalam memajukan perdamaian di Timur Tengah.

Hikmahanto menilai, selama ini Indonesia sudah menjadi mediator dan berupaya aktif dalam Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja sama Islam (KTT OKI), Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Bahkan, Kementerian Luar Negeri juga berkomunikasi dengan sejumlah negara Arab dan negara Barat.

"Jadi pemerintah tidak perlu sampai membuka hubungan diplomatik dengan Israel hanya untuk menjadi mediator konflik. Apakah Indonesia mau mengakui negara yang kita anggap sendiri sebagai penjajah? Saya rasa tidak," kata dia.

Isu Palestina dan Israel kembali memanas terutama setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump berkeras mengakui Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Padahal, selama ini Yerusalem merupakan sumber konflik antara Israel dan Palestina.

Kedua negara memperebutkan kota suci bagi Islam, Kristen, dan Yahudi itu sebagai ibu kotanya. (CNN/AR)

Redaksi Manado 2017 , 12/24/2017

Penulis: Redaksi Manado 2017

RedaksiManado.Com : Situs Media Online yang menyajikan berita secara umum baik Internasional, Nasional dan Khususnya di Sulawesi Utara
«
Berikutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Tidak ada komentar: