» » » Adu Kuat KPK dengan Setya Novanto

RedaksiManado.Com -- Ketua DPR Setya Novanto resmi ditetapkan sebagai tersangka tersangka korupsi proyek pengadaan e-KTP. Ini merupakan kedua kalinya KPK menetapkan Ketua Umum Partai Golkar itu sebagai tersangka dalam proyek yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Pada 17 Juli 2017, Setnov pernah ditetapkan tersangka dengan sangkaan yang sama. Namun, status tersangka Setnov kandas setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan Setya. Kini, KPK yakin, dan mengklaim telah menutup semua celah hukum yang bisa dimanfaatkan Setya Novanto untuk melawan. KPK, kali ini, sangat yakin, bahwa ada bukti baru penetapan Setya Novanto.

Setnov diduga melakukan korupsi bersama-sama Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong. KPK telah memanggil Setnov dua kali saat proses penyelidikan, yakni pada 13 dan 18 Oktober 2017, namun yang bersangkutan mangkir dengan alasan ada tugas selaku anggota dewan. Lembaga antirasuah pun tetap melanjutkan proses hukum tersebut dengan melakukan gelar perkara.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan, setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup, pimpinan KPK bersama tim penyelidik, penyidik dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada akhir Oktober 2017. "KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada tanggal 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR," kata Saut

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, setelah mempelajari putusan praperadilan yang memenangkan Setnov, pihaknya kembali melakukan penyelidikan dari awal. Bahkan, Febri menyebut pihaknya telah mengantongi bukti baru keterlibatan Setnov.

"Ada bukti baru, dan juga tentu saja penanganan kasus ini tidak bisa dipisahkan dari konstruksi besar kasus KTP elektronik lainnya," kata Febri menjawab pertanyaan CNNIndonesia.com saat ditemui di kawasan Kemang, Jakarta, Jumat (10/11) malam.

"Sehingga beberapa fakta-fakta yang sudah muncul sebelumnya, itu tetap masih digunakan dalam seluruh perkara KTP elektronik ini," tutur Febri.

Namun, Febri belum mau merinci bukti baru yang sudah dipegang KPK. Saat disinggung bukti baru ini terkait dengan transaksi uang lintas negara yang melibatkan Anang Sugiana dan rekan Setnov Made Oka Masagung, Febri mengaku belum bisa menyampaikannya saat ini.

"Memang kami mendalami indikasi, dugaan-dugaan transaksi keuangan, yang mohon maaf kami belum bisa sebutkan itu terkait dengan siapa saja. Namun bukti-buktinya kita sudah pegang," kata dia.

Febri menambahkan, KPK sebenarnya sudah memanggil Setnov, saat proses masih di tingkat penyelidikan, untuk dimintai keterangannya. Namun, kesempatan klarifikasi tersebut tak digunakan oleh mantan Ketua Fraksi Golkar itu. "Seharusnya tidak ada celah lagi ya, karena kita sudah lakukan pemanggilan, bukan satu kali tapi dua kali, namun yang bersangkutan tidak datang," kata dia.

Senada dengan Febri, penyidik KPK Novel Baswedan yang mengetahui penetapan kembali Setnov sebagai tersangka, mengatakan bahwa lembaga antirasuah sudah mengantongi bukti kuat keterlibatan Setnov.

‎"Saya perlu sampaikan bahwa apa yang ditetapkan KPK itu sudah mendapatkan bukti yang kuat," kata Novel melalui video call dalam acara 'Jangan Lelah Lawan Korupsi' di kawasan Kemang, Jakarta, semalam.

Novel meminta semua pihak untuk terus mengawal pengusutan kasus e-KTP ini sampai selesai. Yang pasti, kata Novel, penetapan tersangka Setnov tersangka sudah dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat. "Penetapan tersangka SN itu dilengkapi dengan bukti-bukti yang sangat kuat," ujarnya.

'Serangan' Balik Kubu Setnov

Selang beberapa jam usai KPK mengumumkan secara resmi penetapan tersangka, tim kuasa hukum Setnov langsung menyambangi kantor sementara Bareskrim Polri di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Tim kuasa hukum yang dipimpin Fredrich Yunadi, melaporkan Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman, serta Penyidik KPK Ambarita Damanik.

Kuasa hukum Setnov, Fredrich Yunadi, mengatakan keempat orang itu dilaporkan karena menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setnov.

Kempat punggawa KPK tersebut dilaporkan dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 juncto Pasal 421 KUHP.

Fredrich berpendapat keempat orang tersebut telah melakukan penghinaan kepada putusan pengadilan dan telah melakukan penyalahgunaan wewenang seperti yang diatur dalam kedua pasal tersebut.

"Dengan demikian sudah terbukti secara sempurna dan tidak (perlu) dibuktikan lagi, pihak KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum," ujar Fredrich.

Serangan kubu Setnov dalam pengusutan proyek senilai Rp5,9 triliun itu bukan hanya lewat pelaporan terhadap Agus, Saut, Aris dan Damanik tersebut.

Pada bulan lalu, anak buah Fredrich lainnya yakni Sandy Kurniawan melaporkan Agus, Saut, Aris dan sejumlah penyidik lainnya terkait penerbitan surat perintah pencegahan ke luar negeri untuk Setnov.

Laporan tersebut pun sudah ditingkatkan ke penyidikan pada 7 November 2017. Dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikeluarkan Bareskrim Polri, Agus, Saut, dan kawan-kawan diduga telah membuat surat palsu pencegahan Setnov berpergian ke luar negeri.

Fredrich telah membantah pelaporan Agus dan Saut ke Bareskrim merupakan kriminalisasi kepada pimpinan lembaga antirasuah, yang tengah menjalankan tugas. Justru, kata dia, KPK yang telah melakukan kriminalisasi dalam setiap penanganan kasus.

"Fakta proses hukum, justru KPK yang jagonya kriminalisasi kasus," tuturnya.

Selain melaporkan pimpinan KPK dan jajarannya ke polisi, langkah lain yang akan diambil kuasa hukum Setnov adalah mengajukan praperadilan. Dalam waktu dekat mereka bakal segera mengajukan gugatan yang kedua kalinya atas status tersangka Setnov tersebut.

"Kita akan jalankan (dua langkah hukum itu praperadilan dan laporkan pimpinan KPK) serentak," ujar Fredrich, saat diwawancara oleh CNN Indonesia TV.

Obstruction of Justice

Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, pernyataan dan langkah yang diambil Fredrich tersebut sudah mengarah ke obstruction of justice atau perbuatan yang menghalang-halangi proses penegakan hukum.

Sehingga, kata Bambang, KPK bisa menggunakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Hadapi saja, lawyer SN itu sebenarnya sudah mengarah pada obstruction of justice, maka dia bisa dikenakan Pasal 21," kata dia kepada CNNIndonesia.com.

Pasal 21 dalam UU Tipikor berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa atau pun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 belas tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta."

Bambang menilai tindak tanduk kuasa hukum Setnov itu seperti membentengi klienya dari proses hukum yang sedang dilakukan KPK. Bahkan, menurutnya, Fredrich menjadi pihak yang menghambat penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Setnov. (TL/Red)

Redaksi Manado 2017 , 11/11/2017

Penulis: Redaksi Manado 2017

RedaksiManado.Com : Situs Media Online yang menyajikan berita secara umum baik Internasional, Nasional dan Khususnya di Sulawesi Utara
«
Berikutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Tidak ada komentar: