Tomohon,Redaksi Manado.Com~Seorang warga Kelurahan Rinegetan Kecamatan Tondano Barat Kabupaten Minahasa,Ritha Poluakan, S.Th. menjadi salahsatu korban mal praktek proses pendidikan yang cacat prosedur karena pengelolaan lembaga pendidikan yang tidak mematuhi peraturan.
Saat menggelar konferensi pers di Aula Bukit Inspirasi (ABI), Senin (28/8/17) Poluakan yang didampingi Dr.B.A Supit dan Pdt.Posumah menjelaskan,sebelum kuliah dirinya adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang bekerja sebagai pedagang di pasar. Karena kerinduan untuk mengembangkan diri di bidang Teologi Kristen, dirinya mengawali kuliah S1 Teologi pada umur 39 tahun di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) dan lulus S1 pada tahun 2014.
Dirinya kemudian langsung melanjutkan kuliah S2. Untuk membiayai kuliah S2 yang cukup mahal Ia kemudian menjual lapak dagangannya dengan harapan selepas kuliah dapat segera bekerja sebagai dosen.
“Puji Tuhan walaupun keluarga saya bukan dari keluarga yang berada, namun suami saya sebagai sopir taxi tetap menunjang cita-cita saya dan tanpa mengeluh tetap berjuang untuk membiayai kuliah saya di samping sekolah anak-anak kami,” ungkapnya.
Dikatakannya, persoalan berat muncul sekitar bulan April 2016 saat ia menerima ijazah Magister dan mendapati bahwa ternyata ijazah tersebut dianggap ilegal karena tidak terdaftar di PDPT dan tidak ditandatangani oleh Rektor Universitas Kristen Indonesia Tomohon, di mana dirinya kuliah, padahal dirinya sudah diterima untuk mengajar sebagai dosen di STT Transformasi Indonesia di Manado.
“Saya sudah berusaha meminta penjelasan dari pihak pengurus Program Pascasarjana UKIT namun tidak menerima jawaban yang memuaskan dan mereka tidak mau bertanggung jawab. Karena itu masalah ini telah saya laporkan ke pihak berwajib. Hingga proses pelaporan sudah di tingkat kejaksaan,” ungkapnya.
Ritha juga membeberkan beberapa keganjilan dalam proses belajar mengajar di Program Pascasarjana UKIT antara lain,
1. Proses Seminar Proposal dan Pembimbingan Tesis tidak dilaksanakan sesuai peraturan. Dalam hal ini mahasiswa yang berjumlah 87 orang (1 orang program Doktoral dan 86 orang Program Magister), hanya dibimbing oleh 3 orang dosen, yaitu: Dr.Albert O. Supit, D.Th sebagai Direktur Program Pascasarjana, Dr. H.W.B. Sumakul sebagai Kaprodi S2 dan Dr. Hein Arina Sebagai Kaprodi S3, padahal sesuai peraturan 1 orang dosen hanya dapat membimbing maksimal 7 orang mahasiswa. Dengan demikian kami tidak menerima bimbingan sebagaimana seharusnya, alhasil tesis yang dibuat banyak yang tidak memenuhi syarat.
1. Proses Seminar Proposal dan Pembimbingan Tesis tidak dilaksanakan sesuai peraturan. Dalam hal ini mahasiswa yang berjumlah 87 orang (1 orang program Doktoral dan 86 orang Program Magister), hanya dibimbing oleh 3 orang dosen, yaitu: Dr.Albert O. Supit, D.Th sebagai Direktur Program Pascasarjana, Dr. H.W.B. Sumakul sebagai Kaprodi S2 dan Dr. Hein Arina Sebagai Kaprodi S3, padahal sesuai peraturan 1 orang dosen hanya dapat membimbing maksimal 7 orang mahasiswa. Dengan demikian kami tidak menerima bimbingan sebagaimana seharusnya, alhasil tesis yang dibuat banyak yang tidak memenuhi syarat.
Ujian Tesis dilaksanakan tanpa SK Rektor selama 3 hari berturut-turut, yaitu tanggal 16, 17, 18 Maret 2016. Wisuda langsung dilaksanakan tanpa proses perbaikan tesis, sehari setelah ujian, yaitu tanggal 19 Maret 2016, juga tanpa SK Rektor dan pelaksanaannya bukan dalam bentuk rapat senat terbuka melainkan hanya upacara wisuda.
2. Proses ujian tesis yang tidak memenuhi syarat, yaitu satu orang dosen menguji langsung 5 orang mahasiswa (foto terlampir). Ijazah Magister keluar sekitar 1 bulan setelah ujian, walaupun tetap menggunakan logo UKIT tapi tidak ditandatangani oleh Rektor. Ijazah hanya ditandasahkan oleh Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama, Dr. Oditha R. Hutabarat, M.Th dan Direktur Program Pascasarjana Dr. A.O. Supit, M.Th.
3. Walaupun sudah memegang Ijazah Magister status saya di PDPT masih sebagai mahasiswa aktif (data terlampir).
“Dalam keprihatinan mendalam saya harus katakan bahwa UKIT juga sebagai salah satu Universitas kebanggaan kami masyarakat Sulut, terancam ditutup, yang pasti dampaknya akan dirasakan oleh ribuan mahasiswa yang sementara menuntut Ilmu di UKIT,” imbuhnya.
Sebagai almamater UKIT dirinya sudah menyurat ke Presiden Jokowi dan menjelaskan bahwa kisruh persoalan UKIT sebenarnya bermuara di Program Pascasarjana. Mal-proses pendidikan di Program Pascasarjana sebagaimana yang Ia alami seperti penjelasan di atas ternyata telah berlangsung selama bertahun-tahun ketika UKIT dipimpin oleh Rektor sebelumnya Dr. Hein Arina.
Persoalan terjadi ketika di bawah pimpinan Rektor yang baru, Yopie AT Pangemanan, S.Pd, M.M, Program Pascasarjana ini hendak ditertibkan. Hal ini mendapat perlawanan dari pihak pengurus Pascasarjana yang berujung pada beberapa kali usaha pemecatan Rektor.
“Padahal secara kasat mata dibawah pimpinan Rektor Yopie A.T. Pangemanan, S.Pd, M.M, UKIT sangat berkembang bahkan telah mengukir prestasi Nasional. Dan mengapa dari puluhan orang lulusan Pascasarjana UKIT hanya saya sendiri yang berani mengangkat kasus ini ke publik bahkan telah melaporkan pengurus Pascasarjana ke pihak berwajib,” jelasnya lagi.
Hal ini terjadi karena semua teman seangkatannya adalah berprofesi sebagai pendeta, di mana ketiga dosen yang sekaligus pengurus inti dari Program Pascasarjana UKIT adalah sebagai atasan mereka dalam organisasi gereja kami GMIM, sebagai pemilik UKIT.
Jika mereka ikut melaporkan persoalan ini, pekerjaan pelayanan mereka di gereja akan terganggu karena bukan rahasia lagi bahwa mereka dapat diintimidasi oleh oknum-oknum yang menjadi atasan mereka jika didapati berseberangan pendapat.
“Saya berharap agar proses laporan saya di POLDA Sulut tentang mal-proses pendidikan yang terjadi di Program Pascasarjana UKIT boleh mendapat pengawasan sehingga Program Pascasarjana UKIT boleh ditertibkan sesuai Undang-Undang dan Peraturan Pendidikan yang berlaku di Indonesia,” pungkasnya(red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar