Jakarta, RedaksiManado.Com - Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yenny Sucipto mengatakan pemerintah menaikkan tunjangan anggota DPRD lewat peraturan pemerintah (PP) yang bisa membuat APBD tekor.
Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 18 tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada 2 Juni 2017.
Naiknya tunjangan DRPD se-Indonesia melalui PP Nomor 18 Tahun 2017 menjadi anomali di tengah defisit anggaran. "Kenaikan tunjangan DPRD tentu harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Jika daerah ingin menaikkan tunjangan anggota legislatif, daerah perlu memperhatikan ruang fiskal," kata Yenny saat konferensi pers di kantor Sekretariat Nasional FITRA, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Menurut Yenny, hanya ada 12 provinsi dengan indeks ruang fiskal (IKF) yang tinggi di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya. Sisanya, IKF dari 22 provinsi dalam kondisi sedang dan rendah. Kalau dari APBD daerah tingkat II sekitar 60 kabupaten/kota masuk kategori kaya. "Ada sekitar 424 kabupaten/kota masuk kategori miskin," katanya.
Berdasarkan peta ruang fiskal tersebut, kata Yenny, FITRA menyarankan daerah (kabupaten/kota) dengan kondisi ruang fiskal rendah dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) menolak PP Nomor 18 Tahun 2017.
Jika tidak, PP tersebut bisa merepotkan pemerintah daerah mengatur belanjanya. "Bahkan APBD terancam defisit," ujarnya. FITRA, menurut Yenny, tidak yakin adanya kenaikan tunjangan anggota DRPD se-Indonesia bisa mengurangi praktik korupsi.
Pengaruh terhadap kinerja anggota legislatif juga tidak akan signifikan. Hal ini bisa dilihat dari kasus anggota DPRD yang terjerat praktik KKN dan lemahnya kinerja legislasi di beberapa daerah.
"Jika pemda tetap melaksanakan PP Nomor 18 Tahun 2017 dengan kondisi daerah tidak mendukung, tentu akan membuat porsi belanja di daerah tidak produktif dan pembiayaan anggaran menjadi tidak efisien," katanya.
Substansi dari PP Nomor 18 Tahun 2017, ucap Yenny, adalah tambahan tunjangan bagi anggota DPRD. Kenaikan tunjangan bisa membuat anggota legislatif mengantongi pendapatan Rp 30-35 juta per bulan. Jika disimulasikan berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumalah kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota 20.257 kursi.
"Jumlah belanja pegawai yang harus dibayarkan negara dan daerah mencapai Rp 689 miliar, belum termasuk tunjangan komisi dan tunjangan kelengkapan," kata Yenny ihwal akibat kenaikan tunjangan anggota DPRD itu. (TL)
Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 18 tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada 2 Juni 2017.
Naiknya tunjangan DRPD se-Indonesia melalui PP Nomor 18 Tahun 2017 menjadi anomali di tengah defisit anggaran. "Kenaikan tunjangan DPRD tentu harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Jika daerah ingin menaikkan tunjangan anggota legislatif, daerah perlu memperhatikan ruang fiskal," kata Yenny saat konferensi pers di kantor Sekretariat Nasional FITRA, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Menurut Yenny, hanya ada 12 provinsi dengan indeks ruang fiskal (IKF) yang tinggi di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya. Sisanya, IKF dari 22 provinsi dalam kondisi sedang dan rendah. Kalau dari APBD daerah tingkat II sekitar 60 kabupaten/kota masuk kategori kaya. "Ada sekitar 424 kabupaten/kota masuk kategori miskin," katanya.
Berdasarkan peta ruang fiskal tersebut, kata Yenny, FITRA menyarankan daerah (kabupaten/kota) dengan kondisi ruang fiskal rendah dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) menolak PP Nomor 18 Tahun 2017.
Jika tidak, PP tersebut bisa merepotkan pemerintah daerah mengatur belanjanya. "Bahkan APBD terancam defisit," ujarnya. FITRA, menurut Yenny, tidak yakin adanya kenaikan tunjangan anggota DRPD se-Indonesia bisa mengurangi praktik korupsi.
Pengaruh terhadap kinerja anggota legislatif juga tidak akan signifikan. Hal ini bisa dilihat dari kasus anggota DPRD yang terjerat praktik KKN dan lemahnya kinerja legislasi di beberapa daerah.
"Jika pemda tetap melaksanakan PP Nomor 18 Tahun 2017 dengan kondisi daerah tidak mendukung, tentu akan membuat porsi belanja di daerah tidak produktif dan pembiayaan anggaran menjadi tidak efisien," katanya.
Substansi dari PP Nomor 18 Tahun 2017, ucap Yenny, adalah tambahan tunjangan bagi anggota DPRD. Kenaikan tunjangan bisa membuat anggota legislatif mengantongi pendapatan Rp 30-35 juta per bulan. Jika disimulasikan berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumalah kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota 20.257 kursi.
"Jumlah belanja pegawai yang harus dibayarkan negara dan daerah mencapai Rp 689 miliar, belum termasuk tunjangan komisi dan tunjangan kelengkapan," kata Yenny ihwal akibat kenaikan tunjangan anggota DPRD itu. (TL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar