Hal itu diungkapkan saat menggelar aksi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Minggu (12/3). Sejumlah LSM yang hadir dalam aksi tersebut, di antaranya KontraS, Komite Pemantau Legislatif, Yappika, Kopel, dan ILR.
Peneliti ILR, Erwin Natoesmal Oemar mengatakan, pemberhentian sementara para pejabat yang diduga terlibat dalam kasus tersebut diperlukan untuk menjaga kredibilitas pemerintahan Jokowi. Ia khawatir, kepercayaan publik yang besar terhadap Jokowi saat ini bisa luntur jika para pejabat tersebut tidak diberhentikan sementara.
"Belum ada respon serius dari pemerintah saat ini. Kami minta Jokowi untuk memberhentikan sementara pejabat yang diduga terlibat dalam korupsi e-KTP," ujar Erwin.
Erwin berkata, berdasarkan dakwaan dalam sidang perdana kasus e-KTP disebutkan ada sejumlah pejabat yang ditengarai terlibat dalam kasus tersebut, di antaranya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, dan Ketua DPR Setya Novanto.
Lebih lanjut, selain mendesak Jokowi, ia juga meminta KPK untuk segera memeriksa seluruh pihak yang masuk ke dalam dakwaan. Menurutnya, pemanggilan itu untuk menanggulangi timbulnya persepsi negatif publik dan manuver politik yang bisa merugikan KPK.
Salah satu contoh manuver politik yang mulai terlihat, kata Hendrik, yaitu gencarnya DPR mensosialisasikan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke sejumlah universitas. Padahal, UU tersebut tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional DPR tahun 2017.
"Ini (dugaan korupsi proyek e-KTP) adalah kasus terbesar yang dipegang KPK. Ini harus harus dikawal agar KPK tidak diintervensi," ujarnya.
Manajer Advokasi Yappika, Hendrik Rosdinar menilai, dugaan korupsi e-KTP telah menciderai hak dasar masyarakat untuk memiliki identitas. Tak hanya itu, sejumlah masyarakat yang tidak memiliki identitas berupa e-KTP juga tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan hingga mengikuti Pemilu.
"Kasus korupsi ini bukan hanya masalah kerugian negara, tapi telah merebut hak masyarakat dalam banyak hal," ujar Hendrik.
Secara personal Hendrik menilai tindakan korupsi proyek e-KTP sejatinya memang telah direncanakan sejak awal. Tudingan itu terlihat dari besarnya anggaran yang dikorupsi dan banyaknya aktor yang terlibat, khusunya anggota DPR. (TL)