RedaksiManado.Com - Puluhan orang tewas dan rumah serta gedung bisnis hancur lantaran pertempuran antara Israel dengan Gaza akhir pekan lalu jelang Ramadan. Pada Senin kedua pihak menyatakan puas dengan apa yang sudah mereka lakukan.
Lingkaran setan tempur-gencatan senjata-ulangi lagi mungkin terlihat seperti tindakan penghancuran sia-sia bagi orang dunia luar. Tapi sejumlah pengamat menyebut aksi itu adalah bagian dari kepentingan kedua pihak.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu harus menggempur Hamas, kelompok perjuangan kemerdekaan Palestina yang menguasai Gaza, untuk menegaskan argumennya bahwa rakyat Palestina tidak siap dengan perdamaian dan solusi dua negara itu mustahil.
Hamas yang selama ini menuntut Israel mencabut blokade Gaza, harus memperlihatkan betapa warga Gaza sangat menderita dan strategi mereka mengangkat senjata itu efektif.
Hasilnya semacam simbiosis mutualisme yang ganjil.
Dikutip dari laman the New York Times, Senin (6/5), Hamas dan Israel jelas bermusuhan dan konflik di antara keduanya kerap mematikan dan berisiko menimbulkan pertempuran di lapangan yang lebih besar, baik itu lewat serangan roket yang merenggut nyawa orang tak berdosa atau perubahan taktik politik di sisi lain.
"Perundingan lewat tembakan," ujar Ghaith al-Umari, mantan pejabat Otoritas Palestina, menyebut hubungan antara kedua pihak bertikai.
Tapi tiap kali lingkaran setan itu dimulai, Israel dan Hamas sesungguhnya punya kepentingan satu sama lain dan mereka semakin terbiasa melakukannya dengan cara seperti itu.
Pertempuran akhir pekan lalu jelang Ramadan adalah yang terburuk sejak perang 50 hari pada 2014. Pertempuran itu juga adalah pengulangan ke-8 antara Israel dan Gaza dalam setahun terakhir. Aksi saling balas serangan itu terkadang berlangsung lebih dari satu hari dan berakhir segera lewat gencatan senjata yang biasanya digagas oleh Mesir. Gencatan senjata itu dipandang sebagai pertanda kedua pihak tidak menginginkan perang total.
Sejumlah pertempuran pada musim panas tahun lalu dinilai sebagian kalangan adalah bagian dari cara pemimpin Hamas untuk meraih kesepakatan lebih baik.
"Mereka punya kecenderungan untuk mencoba meraih keuntungan lebih dengan meregangkan otot-otot mereka," kata Ehud Yaari, pengamat dari Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat.
Di sini lain, Netanyahu juga tampaknya tak punya selera untuk menghancurkan Hamas, meski sejumlah seruan datang dari politikus sayap kanan untuk melakukan itu. Alasannya karena, seperti yang dikatakan Aaron David Miller, veteran juru runding Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Israel akan menghadapi masalah berikutnya. Mereka harus bertanggung jawab terjadap sekitar dua juta penduduk Gaza. Selain itu ada ancaman dari kelompok lebih radikal ketimbang Hamas, yakni Jihad Islam yang selama ini menjadi pesaing Hamas di Gaza dan juga ancaman dari elemen ISIS yang beroperasi di Gurun Sinai.
Sejumlah pengamat juga menilai keberadaan Hamas mendukung agenda pemerintahan Netanyahu yang selama ini dipandang menolak solusi dua negara damai. Dengan Otoritas Palestina yang mengelola Tepi Barat dan Hamas di Gaza, maka tidak ada jalan mudah bagi solusi dua negara.
"Selama ada tiga negara (Israel-Tepi Barat-Gaza), maka Anda tidak bisa mencapai solusi dua negara. Hamas adalah jaminan untuk kebijakan Netanyahu," kata Miller.
"Dari sisi Hamas, lebih baik punya pemerintahan semacam saat ini ketimbang pemerintah yang lebih moderat yang ingin mencapai perdamaian," kata Celine Touboul, pengamat Gaza di Yayasan Kerja Sama Ekonomi Israel. "Sebetulnya, bagi Hamas: dalam kompetisi politik, mereka ingin melemahkan Otoritas Palestina semaksimal mungkin." [pan]
Lingkaran setan tempur-gencatan senjata-ulangi lagi mungkin terlihat seperti tindakan penghancuran sia-sia bagi orang dunia luar. Tapi sejumlah pengamat menyebut aksi itu adalah bagian dari kepentingan kedua pihak.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu harus menggempur Hamas, kelompok perjuangan kemerdekaan Palestina yang menguasai Gaza, untuk menegaskan argumennya bahwa rakyat Palestina tidak siap dengan perdamaian dan solusi dua negara itu mustahil.
Hamas yang selama ini menuntut Israel mencabut blokade Gaza, harus memperlihatkan betapa warga Gaza sangat menderita dan strategi mereka mengangkat senjata itu efektif.
Hasilnya semacam simbiosis mutualisme yang ganjil.
Dikutip dari laman the New York Times, Senin (6/5), Hamas dan Israel jelas bermusuhan dan konflik di antara keduanya kerap mematikan dan berisiko menimbulkan pertempuran di lapangan yang lebih besar, baik itu lewat serangan roket yang merenggut nyawa orang tak berdosa atau perubahan taktik politik di sisi lain.
"Perundingan lewat tembakan," ujar Ghaith al-Umari, mantan pejabat Otoritas Palestina, menyebut hubungan antara kedua pihak bertikai.
Tapi tiap kali lingkaran setan itu dimulai, Israel dan Hamas sesungguhnya punya kepentingan satu sama lain dan mereka semakin terbiasa melakukannya dengan cara seperti itu.
Pertempuran akhir pekan lalu jelang Ramadan adalah yang terburuk sejak perang 50 hari pada 2014. Pertempuran itu juga adalah pengulangan ke-8 antara Israel dan Gaza dalam setahun terakhir. Aksi saling balas serangan itu terkadang berlangsung lebih dari satu hari dan berakhir segera lewat gencatan senjata yang biasanya digagas oleh Mesir. Gencatan senjata itu dipandang sebagai pertanda kedua pihak tidak menginginkan perang total.
Sejumlah pertempuran pada musim panas tahun lalu dinilai sebagian kalangan adalah bagian dari cara pemimpin Hamas untuk meraih kesepakatan lebih baik.
"Mereka punya kecenderungan untuk mencoba meraih keuntungan lebih dengan meregangkan otot-otot mereka," kata Ehud Yaari, pengamat dari Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat.
Di sini lain, Netanyahu juga tampaknya tak punya selera untuk menghancurkan Hamas, meski sejumlah seruan datang dari politikus sayap kanan untuk melakukan itu. Alasannya karena, seperti yang dikatakan Aaron David Miller, veteran juru runding Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Israel akan menghadapi masalah berikutnya. Mereka harus bertanggung jawab terjadap sekitar dua juta penduduk Gaza. Selain itu ada ancaman dari kelompok lebih radikal ketimbang Hamas, yakni Jihad Islam yang selama ini menjadi pesaing Hamas di Gaza dan juga ancaman dari elemen ISIS yang beroperasi di Gurun Sinai.
Sejumlah pengamat juga menilai keberadaan Hamas mendukung agenda pemerintahan Netanyahu yang selama ini dipandang menolak solusi dua negara damai. Dengan Otoritas Palestina yang mengelola Tepi Barat dan Hamas di Gaza, maka tidak ada jalan mudah bagi solusi dua negara.
"Selama ada tiga negara (Israel-Tepi Barat-Gaza), maka Anda tidak bisa mencapai solusi dua negara. Hamas adalah jaminan untuk kebijakan Netanyahu," kata Miller.
"Dari sisi Hamas, lebih baik punya pemerintahan semacam saat ini ketimbang pemerintah yang lebih moderat yang ingin mencapai perdamaian," kata Celine Touboul, pengamat Gaza di Yayasan Kerja Sama Ekonomi Israel. "Sebetulnya, bagi Hamas: dalam kompetisi politik, mereka ingin melemahkan Otoritas Palestina semaksimal mungkin." [pan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar