RedaksiManado.Com - Sebanyak 41 dari total 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 menjadi tersangka pembahasan APBN-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Jumlah ini mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Perilaku transaksional antara eksekutif dan yudikatif tercermin dari kasus ini.
Pendapat itu disampaikan oleh Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi). Menurutnya, korupsi sebagai extra ordinary crime juga tak memperlihatkan kegarangan yang menakutkan pelaku. Saking tak lagi menyeramkan, korupsi pun dilakukan secara bersama-sama.
" Korupsi ibarat pesta pora yang memabukkan sampai para pelakunya tak sadar lagi jika sedang melakukan kejahatan luar biasa," ujarnya saat berbincang dengan merdeka.com.
Dia memaparkan, pola relasi antar DPRD dan eksekutif di daerah yang sejak lama telah terjebak dalam politik transaksional juga menjadi alasan korupsi di legislatif daerah tak ada hentinya.
"Ketika keputusan penting terkait daerah harus diputuskan oleh dua lembaga, legislatif dan eksekutif, maka peluang mengambil keuntungan menjadi terbuka. Semua unsur coba mencari celah dari semua proses yang dilewati dengan ancaman-ancaman yang bisa menghambat pembuatan keputusan," jelasnya.
"Dan tradisi ini terpelihara dengan baik dari satu periode ke periode lainnya," imbuh Lucius.
Lebih jauh, Lucius menilai, elite politik baik di pusat maupun daerah yang menganggap korupsi bukan lagi kejahatan yang menakutkan, tetapi kejahatan yang nikmat hingga ketagihan. Kejahatan yang nikmat ini membuat semua yang punya akses terhadap anggaran tak takut melakukannya.
Situasi ini semakin dijelaskan oleh apa yang belakangan ini ditunjukkan oleh elite parpol. Dalam proses pencalonan anggota legislatif, parpol bahkan ngotot ingin agar mantan terpidana korupsi dicalonkan.
"Sikap parpol ini bertentangan dengan keinginan publik untuk mengadang para mantan terpidana itu sebagai bentuk hukuman sosial kita pada pelaku korupsi," tukasnya.
Sikap parpol yang permisif pada pelaku juga aksi korupsinya membuat masyarakat sulit untuk membangun optimisme akan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Bagaimana bisa bebas, cetus Lucius, jika sumber rekrutmen pejabat atau pemimpin adalah partai politik yang sikapnya justru cenderung pro terhadap korupsi.
"Jadi kalau sekarang penegak hukum mampu menetapkan 41 orang anggota DPRD sebagai tersangka korupsi mestinya tak sangat mengejutkan dari sisi kasusnya sendiri. Yang justru mencengangkan adalah keberanian penegak hukum untuk mengambil risiko menetapkan sebagian besar anggota DPRD walau mesti bisa mengganggu stabilitas pemerintahan daerah," pungkasnya. **(Red)
Pendapat itu disampaikan oleh Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi). Menurutnya, korupsi sebagai extra ordinary crime juga tak memperlihatkan kegarangan yang menakutkan pelaku. Saking tak lagi menyeramkan, korupsi pun dilakukan secara bersama-sama.
" Korupsi ibarat pesta pora yang memabukkan sampai para pelakunya tak sadar lagi jika sedang melakukan kejahatan luar biasa," ujarnya saat berbincang dengan merdeka.com.
Dia memaparkan, pola relasi antar DPRD dan eksekutif di daerah yang sejak lama telah terjebak dalam politik transaksional juga menjadi alasan korupsi di legislatif daerah tak ada hentinya.
"Ketika keputusan penting terkait daerah harus diputuskan oleh dua lembaga, legislatif dan eksekutif, maka peluang mengambil keuntungan menjadi terbuka. Semua unsur coba mencari celah dari semua proses yang dilewati dengan ancaman-ancaman yang bisa menghambat pembuatan keputusan," jelasnya.
"Dan tradisi ini terpelihara dengan baik dari satu periode ke periode lainnya," imbuh Lucius.
Lebih jauh, Lucius menilai, elite politik baik di pusat maupun daerah yang menganggap korupsi bukan lagi kejahatan yang menakutkan, tetapi kejahatan yang nikmat hingga ketagihan. Kejahatan yang nikmat ini membuat semua yang punya akses terhadap anggaran tak takut melakukannya.
Situasi ini semakin dijelaskan oleh apa yang belakangan ini ditunjukkan oleh elite parpol. Dalam proses pencalonan anggota legislatif, parpol bahkan ngotot ingin agar mantan terpidana korupsi dicalonkan.
"Sikap parpol ini bertentangan dengan keinginan publik untuk mengadang para mantan terpidana itu sebagai bentuk hukuman sosial kita pada pelaku korupsi," tukasnya.
Sikap parpol yang permisif pada pelaku juga aksi korupsinya membuat masyarakat sulit untuk membangun optimisme akan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Bagaimana bisa bebas, cetus Lucius, jika sumber rekrutmen pejabat atau pemimpin adalah partai politik yang sikapnya justru cenderung pro terhadap korupsi.
"Jadi kalau sekarang penegak hukum mampu menetapkan 41 orang anggota DPRD sebagai tersangka korupsi mestinya tak sangat mengejutkan dari sisi kasusnya sendiri. Yang justru mencengangkan adalah keberanian penegak hukum untuk mengambil risiko menetapkan sebagian besar anggota DPRD walau mesti bisa mengganggu stabilitas pemerintahan daerah," pungkasnya. **(Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar