JAKARTA, RedaksiManado.Com - Laki-laki berjenggot dan bersorban itu mendatangi Mabes Polri selasa kemarin (14/11/2016). Kepada wartawan, ia mengaku meminta Ahok untuk mengambil hikmah atas kasus yang sedang menimpanya.
“Saya hanya kuatkan beliau, dari kejadian ini harus bisa ambil kesimpulan. Nasi sudah jadi bubur, keterlanjuran ini jangan ngotot untuk dibenarkan," kata laki-laki bernama Andi Analta Amir itu, seperti dilansir Antara. Ia rupanya saudara angkat Ahok yang menjadi salah satu saksi atas kasus dugaan penistaan agama di mana Ahok menjadi tersangka.
Andi Analta Amir adalah anak dari Andi Baso Amir, dan ayah Ahok Indra Tjahaja Purnama adalah kawan baik Andi Baso Amir. Mereka sangat dekat meski berbeda agama, dan sudah layaknya saudara. Ketika dulu Ahok baru lulus kuliah, Analta diminta ayahnya untuk membimbing Ahok.
Analta, atas permintaan ibunya Misribu, juga membiayai kuliah S2 Ahok. Setelahnya, Ahok dibuatkan perusahaan oleh Analta bernama Nurindra Eka Persada yang bergerak di bidang pertambangan. Usaha yang dijalankan di daerah asal Ahok itu terbilang maju.
Kisah dua keluarga yang mirip saudara itu jelas bukan cerita baru di Indonesia. Cerita soal persaudaraan, baik sedarah maupun yang tidak sedarah, namun berbeda agama sudah ada sejak dulu. Selain Ahok dan Andi Analta Amir yang saudara angkat, ada keluarga besar lain yang berwarna-warni: kakek beragama Budha, orangtua Katolik, kakak-beradik berbeda agama, dan seterusnya.
“Saya hanya kuatkan beliau, dari kejadian ini harus bisa ambil kesimpulan. Nasi sudah jadi bubur, keterlanjuran ini jangan ngotot untuk dibenarkan," kata laki-laki bernama Andi Analta Amir itu, seperti dilansir Antara. Ia rupanya saudara angkat Ahok yang menjadi salah satu saksi atas kasus dugaan penistaan agama di mana Ahok menjadi tersangka.
Andi Analta Amir adalah anak dari Andi Baso Amir, dan ayah Ahok Indra Tjahaja Purnama adalah kawan baik Andi Baso Amir. Mereka sangat dekat meski berbeda agama, dan sudah layaknya saudara. Ketika dulu Ahok baru lulus kuliah, Analta diminta ayahnya untuk membimbing Ahok.
Analta, atas permintaan ibunya Misribu, juga membiayai kuliah S2 Ahok. Setelahnya, Ahok dibuatkan perusahaan oleh Analta bernama Nurindra Eka Persada yang bergerak di bidang pertambangan. Usaha yang dijalankan di daerah asal Ahok itu terbilang maju.
Kisah dua keluarga yang mirip saudara itu jelas bukan cerita baru di Indonesia. Cerita soal persaudaraan, baik sedarah maupun yang tidak sedarah, namun berbeda agama sudah ada sejak dulu. Selain Ahok dan Andi Analta Amir yang saudara angkat, ada keluarga besar lain yang berwarna-warni: kakek beragama Budha, orangtua Katolik, kakak-beradik berbeda agama, dan seterusnya.
Contohnya adalah tokoh pergerakan Islam asal Minangkabau, Haji Agus Salim. Lelaki yang dijuluki The Grand Old Man ini mempunyai adik beragama Kristen, yakni Chalid Salim. Setelah Pemberontakan PKI 1926, sang adik yang dianggap aktivis komunis itu dibuang ke Boven Digoel. Masa-masa pembuangannya itu didokumentasikan dalam buku Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia (1977).
Agus Salim, yang merupakan lulusan terbaik SMA se-Hindia Belanda, sepulang dari Jeddah, bergabung dengan Sarekat Islam. Dia pula yang ikut membersihkan SI dari unsur-unsur komunis, termasuk adiknya yang komunis, yang bekerja sebagai wartawan sebelum dibuang ke Digoel. Chalid yang seperti abangnya dibesarkan dengan ajaran Islam, sempat menjadi ateis.
Tapi di Digoel, Chalid menemukan dirinya sebagai Katolik. Dengan segala risiko dia memilih jalan sebagai pengikut Kristus. Perkenalannya dengan Soekardjo Prawirojoedo, pelaku pemberontakan Zeven Provincien, membuatnya mengenal ajaran Katolik Roma. Semangatnya untuk menjadi umat Katolik dibarengi dengan belajar Katekismus. Sehari setelah Natal 1942, oleh Pastur Mauwese, Chalid dibaptis dengan nama Ignatius Franciscus Michael Chalid Salim.
Dari Boven Digoel, Chalid diungsikan ke Australia. Sementara abangnya di Jawa sepanjang pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Mereka kemudian bertemu di Negeri Belanda. Agus Salim, yang belakangan tahu adiknya telah menjadi Katolik tak merasa sedih. Dia menganggap menjadi penganut Katolik lebih baik tinimbang jadi ateis. Agus Salim bersyukur, adiknya masih beriman kepada Tuhan.
“Aku bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Illahi,” kata Agus Salim kepada Chalid.
Tak hanya tokoh Islam Minang macam Agus Salim saja yang punya adik Kristen. Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang dikenal sebagai Buya Hamka juga punya adik yang belakangan menjadi Kristen. Abdul Wadud Karim Amrullah, begitu nama asli sang adik sebelum dikenal sebagai pendeta dengan nama Willy Amrull.
Umur Abdul Wadud dan Hamka terpaut sekitar 19 tahun. Sejak muda, sang adik sudah berkelana ke Eropa dan Amerika. Saat ke luar negeri pada 1947, Wadud masih beragama Islam. Di Amerika, Wadud menikahi perempuan Indo bernama Vera Ellen George yang jadi mualaf ketika mereka menikah di tahun 1970. Wadud selama bertahun-tahun juga aktif dalam kegiatan Islamic Center di Long Angeles. Tahun 1977, bersama keluarganya dia pindah ke Jakarta.
Wadud kemudian sempat bekerja di biro perjalanan Pacto milik Hasjim Ning di Denpasar. Di Bali, Wadud dan istrinya memiliki toko yang sering mengalami kecurian. Keluarga Wadud kemudian mengalami goncangan. Vera kemudian memeluk agama Kristen lagi. Wadud sendiri akhirnya masuk Kristen juga. Dia dibaptis pada Februari 1983 oleh Pendeta Gereja Baptis Gerard Pinkston di Kebayoran Baru, hampir dua tahun setelah Buya Hamka meninggal dunia 24 Juli 1981.
Tak lama setelah dibaptis, Wadud pun jadi pendeta di Gereja Pekabaran Injil Indonesia (GPII) di California. Namanya kemudian dikenal sebagai Willy Amrull. Nama belakangnya dekat dengan nama Amrullah. Sebagai pendeta, Willy Amrull pernah terlibat penginjilan di Sumatra Barat.
Kisah hidup Willy alias Wadud itu ditulis dalam autobiografinya Dari Subuh hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran (2011) yang diterbitkan BPK Gunung Mulia Jakarta. Dalam autobiografinya itu, tidak dijelaskan bagaimana keluarga besarnya di Maninjau bereaksi atas pilihannya menjadi pengikut Kristen, dua tahun setelah Hamka meninggal. (TL/det)
Agus Salim, yang merupakan lulusan terbaik SMA se-Hindia Belanda, sepulang dari Jeddah, bergabung dengan Sarekat Islam. Dia pula yang ikut membersihkan SI dari unsur-unsur komunis, termasuk adiknya yang komunis, yang bekerja sebagai wartawan sebelum dibuang ke Digoel. Chalid yang seperti abangnya dibesarkan dengan ajaran Islam, sempat menjadi ateis.
Tapi di Digoel, Chalid menemukan dirinya sebagai Katolik. Dengan segala risiko dia memilih jalan sebagai pengikut Kristus. Perkenalannya dengan Soekardjo Prawirojoedo, pelaku pemberontakan Zeven Provincien, membuatnya mengenal ajaran Katolik Roma. Semangatnya untuk menjadi umat Katolik dibarengi dengan belajar Katekismus. Sehari setelah Natal 1942, oleh Pastur Mauwese, Chalid dibaptis dengan nama Ignatius Franciscus Michael Chalid Salim.
Dari Boven Digoel, Chalid diungsikan ke Australia. Sementara abangnya di Jawa sepanjang pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Mereka kemudian bertemu di Negeri Belanda. Agus Salim, yang belakangan tahu adiknya telah menjadi Katolik tak merasa sedih. Dia menganggap menjadi penganut Katolik lebih baik tinimbang jadi ateis. Agus Salim bersyukur, adiknya masih beriman kepada Tuhan.
“Aku bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Illahi,” kata Agus Salim kepada Chalid.
Tak hanya tokoh Islam Minang macam Agus Salim saja yang punya adik Kristen. Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang dikenal sebagai Buya Hamka juga punya adik yang belakangan menjadi Kristen. Abdul Wadud Karim Amrullah, begitu nama asli sang adik sebelum dikenal sebagai pendeta dengan nama Willy Amrull.
Umur Abdul Wadud dan Hamka terpaut sekitar 19 tahun. Sejak muda, sang adik sudah berkelana ke Eropa dan Amerika. Saat ke luar negeri pada 1947, Wadud masih beragama Islam. Di Amerika, Wadud menikahi perempuan Indo bernama Vera Ellen George yang jadi mualaf ketika mereka menikah di tahun 1970. Wadud selama bertahun-tahun juga aktif dalam kegiatan Islamic Center di Long Angeles. Tahun 1977, bersama keluarganya dia pindah ke Jakarta.
Wadud kemudian sempat bekerja di biro perjalanan Pacto milik Hasjim Ning di Denpasar. Di Bali, Wadud dan istrinya memiliki toko yang sering mengalami kecurian. Keluarga Wadud kemudian mengalami goncangan. Vera kemudian memeluk agama Kristen lagi. Wadud sendiri akhirnya masuk Kristen juga. Dia dibaptis pada Februari 1983 oleh Pendeta Gereja Baptis Gerard Pinkston di Kebayoran Baru, hampir dua tahun setelah Buya Hamka meninggal dunia 24 Juli 1981.
Tak lama setelah dibaptis, Wadud pun jadi pendeta di Gereja Pekabaran Injil Indonesia (GPII) di California. Namanya kemudian dikenal sebagai Willy Amrull. Nama belakangnya dekat dengan nama Amrullah. Sebagai pendeta, Willy Amrull pernah terlibat penginjilan di Sumatra Barat.
Kisah hidup Willy alias Wadud itu ditulis dalam autobiografinya Dari Subuh hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran (2011) yang diterbitkan BPK Gunung Mulia Jakarta. Dalam autobiografinya itu, tidak dijelaskan bagaimana keluarga besarnya di Maninjau bereaksi atas pilihannya menjadi pengikut Kristen, dua tahun setelah Hamka meninggal. (TL/det)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar