» » » » KY Didesak Usut Dugaan Pelanggaran Etik Pelantikan Ketua DPD

Jakarta, RedaksiManado.Com -- Polemik pelantikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang oleh Mahkamah Agung (MA) masih terus bergulir. Pelantikannya saat ini digugat sejumlah anggota DPD termasuk Wakil Ketua DPD sebelumnya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Mereka menganggap pelantikan Oesman dan dua wakilnya tidak sah.

Pengamat hukum tata negara Feri Amsari menilai, pelantikan pimpinan DPD oleh Wakil Ketua MA Suwardi penuh pelanggaran.  Menurutnya perlu tindakan tegas dari Komisi Yudisial (KY) untuk mengusut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Suwardi.

"Itu jelas ada pelanggaran. Pertama, soal pertemuan dengan anggota Partai Hanura dan kedua, waktu pelantikan yang dilakukan pada malam hari, bukan jam kerja," ujar Feri ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, Jumat (2/6).


Feri menuturkan, sebagai lembaga pengawas hakim, KY mestinya berwenang mengawasi martabat dan marwah peradilan. Pasalnya, Suwardi diduga melakukan pelanggaran etik hakim dengan melakukan pertemuan bersama anggota Partai Hanura sebelum pelantikan.

Pihak MA juga telah mengakui adanya pertemuan tersebut. Namun mereka beralasan, pertemuan yang dilakukan di gedung MA itu hanya bentuk silaturahmi.

"Wakil Ketua MA ini tentu memiliki permasalahan yang patut dijelaskan di hadapan KY. Apalagi sekarang banyak kelompok masyarakat yang mengajukan permohonan agar KY segera memeriksa," katanya.

MA sebelumnya telah menegaskan tak memiliki alasan untuk memeriksa Suwardi. Mereka menilai tidak ada pelanggaran dalam proses pemanduan sumpah pimpinan DPD tersebut.

Namun jika kewenangan untuk memeriksa Suwardi diabaikan, kata Feri, KY bisa memutuskan in absentia atau tanpa pihak terlapor. Tindakan ini akan berdampak positif pada publik dengan melihat bukti apabila benar terjadinya pelanggaran.

"Publik akan melihat bahwa dia adalah pelaku pelanggaran etik. Nanti akan berpengaruh ke putusan," ucapnya.

Polemik pelantikan Oesman terjadi usai MA menerbitkan putusan Nomor 38 P/HUM/2016 dan Nomor 20 P/HUM/2016 yang mencabut aturan soal masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun, seperti diatur dalam Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2017. Putusan itu sekaligus memberlakukan kembali Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2014 tentang masa jabatan pimpinan DPD selama lima tahun.

Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia sebelumnya juga mengkritisi langkah MA yang melantik pimpinan lembaga tinggi negara hanya oleh Wakil Ketua MA.Berdasarkan etika, seharusnya pelantikan seorang pimpinan lembaga tinggi negara dilakukan oleh pimpinan lembaga tinggi negara juga, dalam hal ini adalah pelantikan pimpinan DPD seharusnya dilakukan oleh Ketua MA. (Alen)

Redaksi Manado 2017 , , 6/04/2017

Penulis: Redaksi Manado 2017

RedaksiManado.Com : Situs Media Online yang menyajikan berita secara umum baik Internasional, Nasional dan Khususnya di Sulawesi Utara
«
Berikutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Tidak ada komentar: