Penegasan itu disampaikan menanggapi tawaran pimpinan kelompok militan Maute, Abdullah dan Omar Maute, mengenai barter satu sandera pastor dengan pembebasan sejumlah kerabat militan.
Abella menyebut pemerintah tidak pernah memberikan wewenang kepada pemimpin agama untuk bertemu dan berdialog bersama pemimpin Maute.
"Pembicaraan pemimpin agama dan teroris Minggu kemarin tidak disetujui pemerintah, militer, dan pemimpin politik. Setiap tuntutan yang dibuat tidak berdasar,” kata Abella di Istana Kepresidenan Filipina, seperti dikutip CNN Phillippines, Selasa (27/6).
Pada Senin, koordinator pembebasan warga sipil Dickson Hermoso menuturkan, delapan pimpinan agama Islam berhasil berdialog dengan Abdullah Maute.
Selain pembebasan sandera, mereka juga membahas kemungkinan menyerahnya kelompok militan. Namun, dialog panjang terus dilakukan karena perbedaan keyakinan mereka. Ia enggan menjelaskan detail karena kondisi Marawi masih dinilai "genting".
Kepada CNN Phillippines, Juru Bicara Komite Manajemen Krisis Zia Alonto Adiong menuturkan para utusan memanfaatkan status mereka sebagai tetua Muslim Maranao agar sebanyak mungkin warga sipil dapat keluar dan aman, bukan untuk mengakhiri perang.
Namun, Abella menyatakan, setiap teroris harus membayar kejahatan yang dibuat.
Duterte bahkan menantang kelompok Maute untuk bertarung hingga titik darah penghabisan. Sebab, ia telah menginstruksikan militer untuk membawa kepala kelompok militan Maute.
Konflik Marawi telah menelan lebih dari 300 nyawa, termasuk puluhan warga sipil dan pasukan keamanan. Selain itu, sekitar 200 ribu orang juga telah mengungsi ke kota tetangga akibat bentrokan tersebut. (TL/CNN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar