RedaksiManado.Com - Terhitung dalam waktu dekat, Jokowi menyinggung PKI sebanyak dua kali. Pertama, saat bertemu pemimpin redaksi media nasional di Istana Merdeka, Jakarta pusat, Rabu (17/5) lalu. Kedua, saat berkunjung ke Tanjung Datuk, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (19/5) lalu.
Bukan tanpa alasan orang nomor satu Indonesia itu mengucapkan hal
tersebut. Ada maksud tertentu di balik frasa "gebuk PKI" oleh Jokowi.
Walaupun, mungkin maksud tersebut tak terlihat dengan jelas.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto mengatakan, ada pesan semiotika atau tanda di balik frasa "gebuk PKI". Ucapan itu tidak hanya merespon isu PKI yang muncul belakangan ini, tetapi juga beberapa isu lain. Di antaranya, berkaitan dengan isu radikalisme yang juga muncul belakangan. Begitu juga dengan perhelatan Pilkada DKI yang telah usai dan rencana pembubaran organisasi massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Gebuk PKI itu sebagai pengantar presiden untuk menanggapi berbagai kejadian terkini. Secara umum ingin mengatakan bahwa kalau ada ancaman yang ingin mengganggu NKRI, presiden dan pemerintah Indonesia akan bertindak tegas," kata Erwan kepada wartawan, Sabtu (20/5).
Jangan terkecoh. Perkataan itu bukan cuma untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Tapi juga untuk kepentingan pribadi. Lewat frasa "gebuk PKI" Jokowi ingin berlindung dari segala angin yang menerpanya.
Beberapa waktu lalu, penulis Bambang Tri dalam buku bertajuk Jokowi Undercover menuding Jokowi terkait PKI. Bambang yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka penyebaran pesan bernada permusuhan, menulis ibunda Jokowi sebagai anggota PKI.
Belum lagi, terpaan dari kisruh Pilkada DKI kemarin yang secara tidak langsung menyeret nama mantan wali kota Solo itu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai pengusung Jokowi, disebut sebagai antek-antek PKI.
Mau tak mau, terpaan itu akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat Indonesia pada Jokowi. "Ini proyeksi ke depan tidak bisa lepas dari Pilpres 2019. Beliau sudah antisipasi karena kita tahu bahwa Pilkada DKI persoalan SARA digunakan untuk mencapai kemenangan. Dengan begitu kita analisis kearah sana, pasti ini terkait Pilpres 2019," imbuh Erwan.
Menurutnya lewat penyataan itu Jokowi ingin meraup suara dan mengambil kembali kepercayaan masyarakat yang hilang karena isu PKI. Ia sudah menyiapkan keamanan sebelum permainan dimulai pada 2019.
Dihubungi terpisah, Psikolog dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk menyampaikan pendapat serupa. Pernyataan Jokowi bisa jadi memang menjawab fitnah yang mengatakan bahwa dia dan PDIP adalah PKI.
"Ucapan ini memang ditunggu oleh rakyat Indonesia yang selama ini silent majority ketika Pilkada kemarin gaduh dengan isu SARA. Rakyat jadi tenang bahwa kepala negara tegas dan tanpa ragu-ragu memerintahkan TNI dan Polri mengawal," kata Hamdi saat dihubungi wartawan.
Di sisi lain, kata Hamdi, pernyataan Jokowi merupakan pernyataan yang normatif. Dikatakan sebanyak dua kali dalam waktu yang berdekatan tidak menjadi masalah karena itu normatif. Sudah semestinya, kepala negara berbicara tegas untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila untuk menuju Bhineka Tunggal Ika.
"Secara keseluruhan, konteks bicara kepala negara, kan paham apapun yang berpotensi merusak empat pilar negara itu baik. Ekstrim kanan atau kiri kan memang harus ditindak tegas," pungkas Hamdi.
Walau normatif, ia menjelaskan apa yang dikatakan Jokowi bisa memicu semangat nasionalisme dan persatuan yang seakan terlupakan saat Pilkada. Perlahan, hal itu akan dirasakan. (Alen)
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto mengatakan, ada pesan semiotika atau tanda di balik frasa "gebuk PKI". Ucapan itu tidak hanya merespon isu PKI yang muncul belakangan ini, tetapi juga beberapa isu lain. Di antaranya, berkaitan dengan isu radikalisme yang juga muncul belakangan. Begitu juga dengan perhelatan Pilkada DKI yang telah usai dan rencana pembubaran organisasi massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Gebuk PKI itu sebagai pengantar presiden untuk menanggapi berbagai kejadian terkini. Secara umum ingin mengatakan bahwa kalau ada ancaman yang ingin mengganggu NKRI, presiden dan pemerintah Indonesia akan bertindak tegas," kata Erwan kepada wartawan, Sabtu (20/5).
Jangan terkecoh. Perkataan itu bukan cuma untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Tapi juga untuk kepentingan pribadi. Lewat frasa "gebuk PKI" Jokowi ingin berlindung dari segala angin yang menerpanya.
Beberapa waktu lalu, penulis Bambang Tri dalam buku bertajuk Jokowi Undercover menuding Jokowi terkait PKI. Bambang yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka penyebaran pesan bernada permusuhan, menulis ibunda Jokowi sebagai anggota PKI.
Belum lagi, terpaan dari kisruh Pilkada DKI kemarin yang secara tidak langsung menyeret nama mantan wali kota Solo itu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai pengusung Jokowi, disebut sebagai antek-antek PKI.
Mau tak mau, terpaan itu akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat Indonesia pada Jokowi. "Ini proyeksi ke depan tidak bisa lepas dari Pilpres 2019. Beliau sudah antisipasi karena kita tahu bahwa Pilkada DKI persoalan SARA digunakan untuk mencapai kemenangan. Dengan begitu kita analisis kearah sana, pasti ini terkait Pilpres 2019," imbuh Erwan.
Menurutnya lewat penyataan itu Jokowi ingin meraup suara dan mengambil kembali kepercayaan masyarakat yang hilang karena isu PKI. Ia sudah menyiapkan keamanan sebelum permainan dimulai pada 2019.
Dihubungi terpisah, Psikolog dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk menyampaikan pendapat serupa. Pernyataan Jokowi bisa jadi memang menjawab fitnah yang mengatakan bahwa dia dan PDIP adalah PKI.
"Ucapan ini memang ditunggu oleh rakyat Indonesia yang selama ini silent majority ketika Pilkada kemarin gaduh dengan isu SARA. Rakyat jadi tenang bahwa kepala negara tegas dan tanpa ragu-ragu memerintahkan TNI dan Polri mengawal," kata Hamdi saat dihubungi wartawan.
Di sisi lain, kata Hamdi, pernyataan Jokowi merupakan pernyataan yang normatif. Dikatakan sebanyak dua kali dalam waktu yang berdekatan tidak menjadi masalah karena itu normatif. Sudah semestinya, kepala negara berbicara tegas untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila untuk menuju Bhineka Tunggal Ika.
"Secara keseluruhan, konteks bicara kepala negara, kan paham apapun yang berpotensi merusak empat pilar negara itu baik. Ekstrim kanan atau kiri kan memang harus ditindak tegas," pungkas Hamdi.
Walau normatif, ia menjelaskan apa yang dikatakan Jokowi bisa memicu semangat nasionalisme dan persatuan yang seakan terlupakan saat Pilkada. Perlahan, hal itu akan dirasakan. (Alen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar